Masuknya Dinar Ayu dalam Keluarga Dimas Anggoro (15)

107 3 0
                                    

Madiun, April 1981.

Madiun, April 1981.

Asap mengepul dari dalam pawon dengan dinding yang terbuat dari gedek. Bau khas bumbu sayur godok bercampur aroma tempe semangit memenuhi ruangan berlantai tanah itu. Mbok Nah tengah berjongkok di depan tungku, meniup perapian yang hampir padam. Lidah api sisakan bara merah setengah menyala pada kayu bakar yang dijejal masuk ke dalam tungku. Di atas tungku, terdapat tembikar berbentuk gentong kecil berisi sayur godok yang mulai mendidih. Perempuan paruh baya itu mulai mengaduk-aduk secara perlahan ketika api mulai menyala, berupaya agar santan dalam sayur godok tidak pecah. Namun, tidak terlalu lama, api kembali padam.

"Wes, bongko meneh," umpat perempuan paruh baya itu, sambil kembali meniup ke arah kayu bakar yang sisakan bara. Lidah api perlahan mulai muncul kembali, yang semula kecil pada akhirnya membesar juga.

Mbok Nah nampak prigel mengerjakan pekerjaan dapur. Perempuan itu benar-benar menguasai pawon dengan baik, menyiapkan kopi dalam cangkir, menggoreng iwak segoro, meramu bumbu oseng cipir, dan menyiapkan sekaleng kerupuk rambak.

Seorang perempuan muda, yang tak lain adalah Rum, masuk melalui pintu samping pawon. Ia berjalan cepat menuju tungku tempat sayur godok direbus. Matanya yang bulat menatap ke arah sayur godog yang mendidih.

"Angkat saja, Rum!" Perintah perempuan paruh baya itu, di tengah aktivitasnya menyusun kerupuk rambak dalam kaleng.

"Injih, Mbok."

Perempuan muda itu tersenyum lalu mengambil celemek lusuh yang berada tidak jauh dari tungku.

"Hati-hati," Mbok Nah kembali berujar. Rum tidak menjawab, ia hanya tersenyum. Dengan hati-hati diangkatnya tembikar berisi sayur, lalu diletakkannya di samping meja pendek, yang berada tidak jauh dari tungku. Abdi dalem Dinar Ayu itu mengambil sebuah mangkuk besar dan mulai memindahkan sayur godog tersebut ke dalam mangkok.

"Apa ndoromu sudah bangun?" tanya Mbok Nah, kali ini sambil meletakkan sekaleng kerupuk rambak di samping tembikar berisi sayur godog. Lalu menyesap kopi yang tadi diseduhnya.

Rum terdiam, ia masih khidmat menuangkan sayur ke dalam mangkok. Mbok Nah menarik napas panjang. Lalu berlalu menuju rak piring, mengambil beberapa buah piring dan kembali meletakkannya di atas meja pendek.

"Nanti bawa semua ke meja makan, ya," ujarnya. Lalu dia keluar menuju jeding.

Dengan cepat Rum membereskan segalanya, dia membawa mangkuk berisi sayur godog menuju ruang makan, sebelum Mbok Nah selesai dari kamar mandi.

Sebenarnya, ia selalu kebingungan untuk menjawab pertanyaan simbok tentang ndoro putrinya. Bagaimana ndoro putrinya mau bangun pagi? Lha, wong, dia selalu tidur menjelang dini hari. Hidupnya itu sengsara, ngenes meratapi nasib cintanya. Seperti Layla yang dipisahkan dari Majnun-nya. Makanya, semalaman suntuk ndoronya hanya ingin menulis puisi cinta tentang kekasihnya. Tentang harapannya ke depan bila ia bisa lepas dari mimpi buruk ini. Mimpi buruknya sebagai istri kedua Raden Dimas Anggoro.

Rum berjalan melewati koridor dengan jendela-jendela di sisinya menuju ruang makan. Rumah bergaya joglo itu berukuran cukup luas. Banyak kamar dan koridor yang menghubungkan dari satu ruangan ke ruangan lain. Di ruang makan, nampak Raden Dimas Anggoro tengah duduk berhadapan dengan Oe Tan Yuan, istri tuanya.

"Jadi, kita harus menunggunya?" ujar Yuan, yang pagi itu nampak cantik dengan baju warna navy berkerah victoria.

Raden Dimas Anggoro menatap istrinya. Tatapan laki-laki berusia 28 tahunan itu nampak teduh, lalu matanya beralih kepada Rum yang tiba-tiba masuk dan meletakkan semangkok sayur godog di atas meja.

Kaum BendoroWhere stories live. Discover now