9. Inflasi Simpati

7.4K 589 18
                                    

Inflasi: pemuaian drastis dalam waktu sangat singkat. Di mana alam semesta yang tadinya kecil kemudian memuai secara eksponensial dalam waktu kurang dari 1 detik.

 Di mana alam semesta yang tadinya kecil kemudian memuai secara eksponensial dalam waktu kurang dari 1 detik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari sudah gelap, tetapi jalanan Jakarta tidak pernah sekalipun sepi. Termasuk sebuah jalan kecil yang jarang dilewati oleh pengendara. Tahu bahwa jalanan itu sering digunakan balapan motor, para warga sekitar lebih memilih untuk memutar dibandingkan harus melewati jalanan itu. Padahal, orang-orangnya baik, bukan begal atau rampok juga. Namun, tetap saja, mereka akan tetap dicap jelek oleh masyarakat.

Salah satu anggota pembalap itu adalah Rigel, anak pengusaha terkenal yang sangat jarang ada di Indonesia. Jika sudah turun ke jalanan, Rigel hanya Rigel, tanpa embel-embel Tanudisastro. Sama seperti Bara dan juga Ares. Kalau mereka sudah berkumpul, mereka semua satu derajat dengan anak jalanan yang tidak jelas keluarganya. Dan sekarang, mereka sedang menongkrong di warung remang-remang langganan.

Di saat semua orang tampak asyik dengan obrolan mereka, Rigel justru hanyut dalam pemikirannya sendiri.

“Emang tadi siang gue kelihatan lagi modusin Nilam, ya?”

Berulang kali pertanyaan itu dia lontarkan pada diri sendiri. Rigel serius bertanya, bukan bermaksud untuk mengelak. Karena yang Rigel rasakan, dia sama sekali tidak ada maksud apa-apa kepada Nilam.

“Kalau kekencengan mikir, nanti otak lo koslet, Gel,” celetuk Ares sambil menepuk bahu Rigel. Dia duduk di sampingnya, lalu menyantap pisang goreng yang masih panas. “Mikirin apaan, sih? Muka lo enggak enak banget buat dilihat. Lagi mikirin kata-kata gue, ya? Tentang benci yang bisa jadi cinta. Lo cinta sama Nilam?”

Rigel menepis tangan Ares yang masih ada di bahunya. Dia menatap sahabatnya itu dengan malas. “Ngapain lo malah datang ke sini, sih? Gue cuma lagi mikir, jadi enggak bisa lagi karena ada lo,” protes Rigel sambil menyeruput wedang jahenya.

Bukannya berpikir atas yang diucapkan oleh Rigel, Ares malah terkekeh sendiri. Dia sudah nyengir, rongga mulutnya panas karena terlalu bersemangat menyantap pisang goreng. “Kali aja, kan, lo udah suka sama Nilam gitu?”

“Lo sembarangan amat kalau ngomong. Kan, gue udah bilang, terlalu banyak cewek yang lebih dari Nilam. Gue bakal pilih mereka, lah.” Rigel teguh dengan pemikirannya. “Siapa yang turun?” Ia berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Katanya Garong, sih. Malam ini lagi sepi, taruhannya cuma 5 juta,” jawab Ares setelah susah payah menelan pisang gorengnya. “Kok, gue enggak lihat Bara? Kemana tuh anak?”

“Tante Lia lagi shopping,” jawab Rigel.

Ares mengangguk. Hanya dengan jawaban sederhana seperti itu, Ares sudah tahu alasan Bara tidak ikut malam ini. Sudah pasti mengantar ibunya.

Rasi Rasa [Tamat]Where stories live. Discover now