2. Jika Ini Ketulusan

1.8K 57 1
                                    

"Kalau kamu ingin berkomitmen dengan dia, pastikan dulu kamu berkomitmen dengan perasaanmu. Tetap mencintai dia, meski dia tidak memilihmu. Tetap melakukan yang terbaik untuknya, walau dia tidak menganggapmu."

Kalimat itu kudapatkan dari seorang sahabat yang ketika itu tahu bahwa dia sedang dicintai olehku. Dia pernah melarangku mencintainya, sebab dia tidak bisa membalas perasaanku. Hingga kemudian kalimat berisi komitmen itu keluar dari bibirnya, membuatku mengerti bahwa selama ini aku sedang berkomitmen dengan perasaanku sendiri; yang mencintainya tanpa mengharapkan balasan apa-apa.

Sepuluh bulan, waktu yang kuhabiskan untuk memastikan dia baik-baik saja. Sepuluh bulan sudah aku selalu menemaninya dalam suka dan duka. Mengabaikan kepentingan diri, untuk menjadi pendengar setianya setiap hari. Hingga seseorang dari masa lalu mengatakan bahwa aku bodoh, telah bertahan mencintai seseorang yang sudah kutahu bahwa orang tersebut hanya menginginkanku sebagai temannya saja.

Kembali aku termenung, benarkah ini kebodohan? Ataukah begini makna tulus yang sebenarnya? Aku pun memberanikan diri memperjelas semuanya, sebab dengan jujur, bisa kukatakan, jika mencintai sahabat sendiri, terlebih dia tak bisa mencintai kita kembali; adalah hal yang sangat sulit dijalani.

Ketika itu, aku bertanya padanya perihal siapa yang sedang dicintainya. Dia menjawab, tidak ada. Untuk saat ini dia ingin mencintai dirinya sendiri dulu. Aku pun percaya, sampai kemudian kulihat dia menyemangati seseorang, aku terluka. Ketika melihat kalimat semangat yang dia sematkan, aku menangis, menyesali telah percaya padanya sekali lagi. Aku cemburu dan memahami bahwa cintaku tidak tulus. Karena aku menginginkan dia memberikan sesuatu yang juga dia berikan pada orang yang dicintainya.

Kembali, aku berbincang dengannya perihal rasa yang kupunya. Dia berkata bahwa dia juga mencintaiku, dia merasa kehilangan ketika aku tidak menemaninya, tapi bukan cinta yang seperti kuinginkan. Bahkan dia selalu berkata;

"Cukup aku saja yang menyakitimu, jangan ada orang lain. Aku tidak suka."

Kalimat itu membuatku bertahan mencintainya sebentar lagi, walau sebenarnya hati telah lelah, dan ingin berhenti. Aku hanya ingin lebih tulus ketika mengetahui siapa yang dijaganya saat ini. Tetap menjadi pendengar setia, teman terbaik, dan seseorang yang selalu berusaha memastikan dia baik-baik saja.

Sampai akhirnya, di bulan ke sepuluh; ketika dia berkata lepaskan semua peran yang kumainkan. Aku tidak bisa bertahan, sebab tiang peganganku sudah tidak lagi ada. Aku dan dia sama-sama terluka. Kami berdua sama-sama kehilangan. Dan jika ini adalah sebuah ketulusan, maka seharusnya aku pun bisa merelakan dia walau harus memeluk luka setelah dirinya tiada. Aku pun melepas kedua peran yang selama ini kupertahankan. Peran sebagai sahabat dan seseorang yang mencintainya.

Setelah kejadian itu, ada rasa bersalah di tiap kali aku mengetahui dia tidak baik-baik saja. Tapi, untuk sekadar menanyakan kabarnya saja aku tak kuasa. Sebab akibat dari komunikasi yang terhubung kembali setelah memutuskan pergi, maka akan ada luka, dan harapan yang memeluk bersamaan. Aku tidak menginginkan hal tersebut. Sebab bagaimanapun dia harus fokus membahagiakan dirinya serta seseorang yang dia cintai. Begitupun diriku.

Akhirnya, tentang ketulusan dalam mencintai tidak berlaku untuk semua orang. Karena kita tetap meminta, sebagai imbalan dari apa yang kita berikan. Kita mungkin bisa berkomitmen dengan perasaan, pertanyaannya; sampai kapan? Ketika cinta yang diberikan dengan baik, namun dibalas dengan rasa sakit; keputusan terbaik untuk menyelamatkan diri sendiri adalah berhenti dan pergi.

Pelepasan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang