3. Merela Luka

1.5K 50 1
                                    

Jika mencintaimu pada akhirnya membuatku terluka, aku tak menyesal pernah mencintaimu sedalam itu. Yang mungkin kusalahkan adalah diriku sendiri, yang pernah memaksamu untuk menerimaku.

Dua hal menyakitkan di tahun ini yang kupelajari, kuterima dengan baik, hingga akhirnya rasa sakit itu pergi dengan sendirinya.

Pertama, aku berhenti bertahan menikmati sebuah hubungan tanpa kepastian. Hampir dua tahun bertahan, mengizinkan dia datang dan pergi sesuka hati, melukai diri sendiri untuk menahannya agar tidak hilang, hingga aku harus merelakan satu bentuk kehormatan untuk menjadi bukti bahwa aku mencintainya. Nyatanya, dia tetap saja pergi. Nyatanya, dia tak pernah memberikanku sebuah kepastian. Setelah semua hal kulakukan sebagai bukti kasih yang tulus, sosok itu tetap ada dan tiada bagiku. Hingga aku memantapkan diri melepaskannya, membiarkan dia bebas dengan imajinasinya, dan itu melegakan sekali.

Walau sulit, penuh dengan pertimbangan dan risiko, aku pun siap. Melepas dia yang memang hanya menginginkan tubuhku saja. Bukti dalam bentuk apapun, tidak membuatnya bertahan, atau sekadar menghargai keberadaanku. Akhirnya aku belajar, darinya yang abu-abu, kutemukan diriku sendiri. Kembali aku menjadi si kuat, yang menyerap energi negatif untuk diubah menjadi energi positif bagi sekitarku. Darinya aku memahami, bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta itu tumbuh dan memilih sesuai keinginan tuannya. Sedang dia, memang tidak mencintaiku. Dia hanya menginginkan kepuasan dari tubuhku. Aku telah berikan itu, tanpa mendapatkan imbalan apapun. Bahkan secuil perhatian darinya saja tidak.

Tak mengapa, aku tak menyesal atau marah. Meski di awal aku merasa kecewa, aku tak pernah menyesal telah melakukan yang terbaik untuk seseorang yang memang kucintai. Seperti perkataannya sewaktu dulu dia menjadi penyemangatku di awal pertemuan; bahwa aku masih takut jatuh hati. Aku takut ketika cinta itu diucapkan, rasa itu diungkapkan, dan luka yang kudapatkan. Benar memang. Ketika aku menerima perasaan bahwa aku mencintainya, di saat itu juga aku terluka.

Pernah sekali aku merasa tidak berdaya. Berpikir, hanya dia yang bisa menerimaku. Karena memang aku kotor. Tapi kemudian, seiring waktu aku terbiasa tanpa kehadirannya yang memang tak pernah nyata, aku pun bisa melepas. Bahkan aku bisa dengan tegas menolak kehadirannya yang untuk ke sekian kali. Walaupun itu harus diakhiri dengan drama air mata, dan kerinduan. Tapi kini, aku tertawakan momen bodoh tersebut; sebab aku telah sembuh.

Lalu, yang kedua; saat aku menyadari bahwa hatiku jatuh kepada sahabatku sendiri. Teman dalam keadaan apapun. Teman yang selalu mengatakan bahwa aku bodoh jika sudah berhadapan dengan cinta. Teman yang merusak pagiku dengan rentetan kesalahan kecil yang kubuat malam tadi; tidak mengangkat teleponnya, contohnya.

Ya, aku mencintai sahabatku sendiri. Ketika aku berhasil melepaskan diri dari dia yang tanpa kepastian. Aku menjatuhkan diri di tempat yang memang tidak bisa memberikanku sebuah pelukan. Sahabatku itu tidak ingin aku mencintainya. Walau dia selalu berkata, biar aku saja yang menyakitimu. Jangan ada orang lain, aku tidak suka. Tetap saja, harapan itu ada di setiap kali dia hadir dengan air mata karena gagal mempertahankan sosok yang dicintainya.

Aku yang saat itu belum berani mengungkapkan secara gamblang, hanya berharap Tuhan menjaganya. Hingga suatu hari, di satu kesempatan emas. Aku mengatakan semuanya, begitu juga dia yang menjawab dengan jujur setiap hal yang ingin aku ketahui. Untuk pertama kali, sebuah penolakan menamparku dengan begitu keras. Dia tidak mencintaiku, tapi dia tidak ingin aku pergi dari kehidupannya. Sebab dia perlukan aku sebagai teman bercerita, adik yang dia sayang, dan teman dalam keadaan apapun.

Perlu waktu lama untuk aku berpikir. Dua keputusan besar ada di dalam kepalaku. Berhenti mencintai atau pergi.

Tadinya aku berusaha untuk berhenti mencintai. Tapi keberadaannya terus saja menggagalkan rencanaku. Akhirnya aku berusaha untuk pergi, dengan harapan aku bisa berhenti mencintainya. Sebab bagaimanapun, aku tak bisa kembali memaksa orang untuk mencintaiku.

Sampai akhirnya, sosok luar biasa yang tak pernah diundang, yang tak kupikirkan datang dengan kepastian, serta cinta luar biasa. Tentu saja, aku tak mencintainya. Tapi aku tahu bagaimana rasanya ketika cinta itu bertepuk sebelah tangan. Dan aku berpikir untuk menerima walau tidak sepenuhnya. Aku mencoba terbiasa, walau itu perlu waktu yang lama.

Sosok itu membantuku sembuh, dari penolakan yang hadir hampir bersamaan. Menyelamatkan aku dari pikiran bahwa diri ini tak pantas diterima, karena sudah tidak lagi suci. Sosok itu membuatku berhenti mencintai dia, yang tak bisa menerimaku, dan membantuku bertumbuh. Sosok itu akhirnya yang kini kusebut sebagai hadiah dari belajar melepas dengan ikhlas.

Aku memang tidak bisa mengembalikan waktu yang kubuang untuk bertahan mencintai dia yang hanya inginkan kepuasan dari tubuhku saja. Aku juga tidak bisa kembali ke masa lalu, dan memilih untuk tidak mencintai sahabatku sendiri. Tapi, aku bisa menerima dia yang mencintaiku. Memberikan versi terbaik diriku yang saat ini untuk belajar mencintainya kembali. Walau waktu harus berjalan lebih lambat, kuyakin mampu kuciptakan rasa cinta yang utuh. Agar sosok itu tidak bernasib sama denganku yang hanya membuang waktu untuk memastikan orang yang kucintai bisa mencintaiku kembali.

Kini, hari ini; saat kalian membaca tulisan ini. Aku sedang duduk manis, menikmati kopi, menonton acara kesukaan, sembari merasa diberkahi telah berhasil melepas yang tak ingin kugenggam, dan memeluk dia yang juga ingin memelukku. Proses melepas memang tidak mudah, tapi kita harus memiliki ingin, bukan angan. Kita harus memiliki niat kuat, sikap, ketegasan, dan berani mengambil risiko.

Karena setiap keputusan yang kita ambil, meskipun itu menyakitkan, bukan berarti keputusan itu salah.

_______________________

Selamat untuk hari ini, Alien.


Pelepasan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang