04. Ambiguous

1.1K 221 6
                                    

***

Kim Bobby baru saja bangun dari tidurnya. Semalam ia tidur sangat larut karena terlalu asik berkirim pesan dengan teman sekelasnya. Seorang gadis cantik di kelasnya telah sukses membuatnya mabuk kepayang. Jatuh cinta adalah hal terbaik yang dapat di cerna oleh otak anak-anak seusia Bobby.

Bobby masih terlelap, ketika sayup-sayup ia dengar suara ayahnya yang mabuk berteriak-teriak di ruang tengah. Sejak sang ayah berhenti bekerja satu tahun lalu, ia jadi suka mabuk-mabukan. Pria berusia hampir setengah abad tahun itu mabuk hampir setiap malam. "Heish sial!" keluh Bobby, disaat rasa kantuknya terganggu oleh suara benda tumpul yang menghantam sesuatu. Pria tua itu pasti sedang mengamuk sekarang– pikir Bobby yang justru menggunakan satu buah bantalnya untuk menutupi kepalanya, meredam suara berisik yang terjadi di lantai satu rumahnya.

Malam itu, Bobby tidak dapat lagi kembali terlelap. Amukan sang ayah yang terdengar cukup keras, disertai dengan omelan ibunya yang terdengar menyedihkan membuat Bobby akhirnya kehilangan kesabaran. Dengan kesal, Bobby berjalan keluar dari kamarnya. Ia turuni tangga rumahnya yang tidak seberapa tinggi dan langsung berteriak ketika ia melihat sang ayah hendak memukul ibunya dengan sebuah stik golf. "Tolong hentikan! Heish sialan! Ini sudah lewat tengah malam!" marah Bobby, jauh lebih kencang dibanding omelan sang ayah yang mabuk.

Ibu Bobby langsung khawatir ketika dengan angkuhnya Bobby turun kemudian merebut stik golf dari tangan ayahnya. Wanita itu buru-buru menjauhkan Bobby dari suaminya yang mabuk namun amarah sang suami justru tidak lagi terbendung karena umpatan putranya. Bobby yang mengumpat menyulut emosi sang ayah yang mabuk. Tanpa aba-aba dipukulilah sang anak dengan stik golf. Sang ibu yang sebelumnya mencoba terlihat kuat kini menangis, berusaha keras menjauhkan sang suami yang tengah memukuli anaknya. Ibu mana yang hatinya tidak hancur melihat anak semata wayangnya dipukuli?

Sang ibu berusaha keras menarik sang suami, menjauhkan pria itu dari anak lelakinya yang hanya diam, meringkuk di lantai dengan melindungi kepalanya dari hantaman stik golf yang bertubi-tubi. Anak sialan, anak tidak tahu terimakasih, anak kurang ajar, semua amarah pria itu lampiaskan pada anak semata wayangnya.

Perlahan, mata Bobby kehilangan fokusnya. Ia harus menyelamatkan dirinya, ia harus membela diri sekarang. Persetan dengan status anak yang ada di bahunya, kini Bobby tidak bisa diam saja. Dengan mata yang berkunang-kunang, ia dorong sang ayah. Sudah tidak ada lagi kesabaran tersisa dalam dirinya, ia dorong sang ayah hingga pria itu menabrak dinding di belakangnya.

"Bobby-ya, kau baik-baik saja?" panik sang ibu, ia rangkul bahu anaknya yang terluka, memar dan berdarah karena kerasnya stik golf.

"Pergi, pergi dari sini eomma, pria keji ini sudah gila, ayo kita pergi," jawab Bobby, ia tepis tangan ibunya untuk ganti merangkul wanita kesayangannya itu. Bobby hendak membawa sang ibu pergi dari rumah itu, mumpung sang ayah masih sibuk mengumpat dan berusaha meraih kembali stik golfnya.

Hanya butuh beberapa detik untuk Bobby dan ibunya sampai ke pintu depan, namun dalam waktu beberapa detik itu juga sang ayah justru sudah lebih dulu berhasil meraih mengambil vas bunga marmer di atas meja. Dan hanya butuh tambahan waktu beberapa detik, sampai kemudian vas bunga yang cukup berat itu menghantam kepala Bobby. Bobby tumbang, dengan kepala yang mengeluarkan banyak darah. Seolah semua orang tuli, sang ibu yang melihat anaknya perlahan-lahan jatuh ke lantai lantas menjerit ketakutan. Nyonya Kim khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada putranya. Darah yang keluar dari kepala Bobby luar biasa banyaknya, seolah seluruh darah yang di pompa jantungnya keluar dan menggenangi lantai. "Dia mati?" tanya si pelempar vas, seolah pria yang berbaring diatas lantai sekarang bukanlah putranya. Alkohol benar-benar telah membuatnya gila, lupa diri, mengeluarkan iblis yang bersembunyi dalam jiwanya.

Ibu Bobby harus sadar! Ia tidak bisa melihat putranya yang terluka perlahan-lahan menutup matanya– karena itu ia berlari meraih telepon di dapur dan menghubungi seseorang– ambulance. Sayangnya, seolah tidak peduli pada bagaimana nasib anaknya, tuan Kim justru menjambak rambut istrinya. "Apa yang kau lakukan?! Kau ingin suamimu di penjara?!" maki tuan Kim sembari menjambak rambut istrinya, melemparnya ke lantai kemudian memukulinya, menendangnya bahkan menginjak wajahnya.

Malam itu keadaannya benar-benar mengerikan dan pagi ini, di saat Lisa tiba di lokasi dengan kedua seniornya gadis itu membeku di depan pintu masuk. "Jelaskan kasusnya," pinta Jiyong kepada seorang polisi yang menjemput mereka di depan pintu masuk keluarga Kim tersebut.

"Kasus ini di laporkan melalui panggilan darurat pada pukul 5 dini hari tadi. Seorang wanita yang menelpon, dia bilang dia baru saja membunuh suaminya dan butuh ambulans untuk membawa putranya yang juga terluka ke rumah sakit. Saat polisi datang mereka menemukan tiga orang yang terluka disini, dua orang terluka parah dan seorang pria tewas. Nyonya Kim dan putranya mendapatkan perawatan di rumah sakit sedang tuan Kim meninggal di lokasi. Sepertinya Tuan Kim meninggal karena hantaman benda tumpul tepat di kepalanya."

"Ini darah tuan kim?" tanya Lisa, sembari menunjuk genangan darah yang mulai mengering di pintu masuk.

"Kami masih mengeceknya," jawab seorang ahli forensik yang sudah lebih dulu tiba di tempat itu.

"Itu darah putra mereka," ucap Jiyong, yang justru berjongkok di sebelah gambar orang di atas lantai– penanda kalau jasad tuan Kim di temukan disana. "Korban ditemukan disini dan tidak ada tanda-tanda ia dipindahkan, hubungi Daesung, tanyakan kondisi di rumah sakit," suruh Jiyong tanpa menyebut nama orang yang ia suruh.

"Aku tidak punya-

"Aku akan menghubunginya," potong Seunghyun, pria itu menepuk bahu Lisa kemudian berjalan keluar dari lokasi kejadian itu. Tidak lama setelah Detektif Kwon juga ikut melangkah keluar. Namun ucapan Jiyong ketika ia melangkah keluar justru memancing emosi Lisa– si anak baru yang belum mengenal seorang Kwon Jiyong.

"Ini bukan kasus besar, kirimkan hasil autopsinya secepatnya agar kami bisa segera menulis laporannya," ucap Jiyong, yang kemudian menepuk bahu ahli forensik disana.

Jiyong berjalan keluar dan Lisa mengekorinya, namun begitu mereka sampai di depan rumah keluarga Kim, Jiyong justru menyulut rokoknya dan membuat Lisa semakin kesal. "Ketua tim Kwon, bukankah kau terlalu menyepelekan kasus ini? Kau hanya berkeliling rumah seperti makelar yang akan menjual rumah dan tiba-tiba bilang kalau kasus ini bukan kasus besar? Bagaimana kau tahu ini bukan kasus besar kalau kau tidak melakukan penyelidikan apapun? Kalau kinerja polisi seperti ini, pantas saja ada banyak kasus yang tidak selesai dan ditutup begitu saja,"

"Kau baru saja mengomentari cara kerjaku?"

"Apa tidak boleh? Ah... Karena aku anak baru, jadi seniorku harus selalu benar? Bukankah pikiran seperti itu adalah bentuk senioritas konyol yang seharusnya sudah ditiadakan? Aku tidak keberatan kalau aku harus menyiapkan kopi untuk kalian setiap pagi, walaupun menyiapkan kopi bukanlah bagian dari deskripsi pekerjaanku. Menyuruh anak baru atau yang termuda membeli kopi termasuk senioritas tak berdasar, namun aku akan membiarkannya. Tapi menganggap kalau anak baru itu bodoh dan senior selalu benar, tidak bisa ku biarkan,"

"Kau sudah selesai bicara?"

"Ya?"

"Kalau kau memang pintar, selesaikan kasus ini, cari pelakunya, kita lihat sehebat apa dirimu. Kalau kau bisa membuktikan kemampuanmu, aku akan menutup mata mengenai nepotisme yang kau lakukan. Aku akan menghormatimu kalau kau berhasil dengan kasus ini. Tapi kalau kau tidak berhasil-"

"Kalau aku tidak berhasil?"

"Kalau kau gagal menemukan siapa pelakunya, aku ingin kau menyerahkan surat pengunduran dirimu,"

***

ZodiacDonde viven las historias. Descúbrelo ahora