Makanan Spesial (?)

17 3 0
                                    

Kilatan itu menyambar setiap detik ke pekarangan rumah bagaikan lampu taman yang dinyala-matikan terus-terusan oleh orang iseng. Kilatan itu kadang membantu dengan menerangi jalanan yang gelap dengan mendung di langit-bagaikan masa depanku. Tapi kadang dia juga merugikan dengan meruntuhkan pohon, tiang listrik, bahkan meruntuhkan kehidupanku-err, ga begitu juga sih.

Tapi memang agak benar juga karena pada hari Jumat Kliwon yang katanya keramat ini, hujan turun sangat lebatnya diikuti petir yang bersahut-sahutan. Ada tiang listrik yang roboh di dusun sebelah yang juga mempengaruhi aliran listrik di rumahku. Ya, listrik di rumah kita mati. Gelap total!

Satu jam sebelumnya adalah jam santai-santainya seluruh penghuni rumah, termasuk aku. Setelah kurang lebih sepuluh jam berkutat dengan pelajaran dan pekerjaan yang membuat pusing, akhirnya itu semua berakhir dengan kasur dan sebuah hape di tangan serta sepasang handsfree di telinga.

"Miu!" Mamaku berteriak dari bawah. Bukan dari bawah tanah, ya. Cuma aku saja lagi di lantai dua sementara Mamaku lagi di lantai satu. "Makan dulu! Ini Papa kamu bawakan makanan spesial buat hari ini."

Mendengar kata "makanan", perutku yang belum diisi sejak jam makan siang tadi langsung berkeroncong ria mendorongku untuk bergegas berjalan menuju ke tempat makanan spesial itu berada.

"Woah ...! Oke, Ma!" ujarku bersemangat. "Tunggu bentar."

Aku segera berlari menuju ke lantai bawah. Menuruni setiap anak tangga seperti anak kecil yang baru saja ditawari permen. Hampir saja aku terpeleset di anak tangga ke tiga belas-ehe, tapi aku 'kan profesional. Tetap saja rintangan-rintangan itu mudah sekali kulalui karena makanan spesial-ku sedang menunggu dengan sabar di sana. Huhuhu.

Wuuushh.

Aku melakukan manuver selincah Valentino Rossi. Membuat angin-angin bertiup kencang menyambut kedatanganku. Aku berbelok menuju tempat Mama dan makanan itu menungguku.

"Gimana, Ma? Mana makanannya?"

Mama mengerjap-ngerjap liar. Menatap genit diriku. Aku mulai curiga. Sepertinya Papa baru pulang jam tujuh malam nanti. Mengapa Mama bilang bahwa ada makanan spesial dari Papa. Dan yang paling penting ... MENGAPA AKU BISA PERCAYA??

"Ah, maaf, Miu. Mama bukan mau menawarimu makanan. Tapi ya, Mama tahu kalau kamu gampang banget kalau udah ditawari makanan." Mama menyeringai. "Sebenarnya Mama mau mengenalkan kamu sama kerabat Mama-eh, maksudnya anak kerabat Mama! Nah, dia ini namanya Fahri."

"Eeh ..."

Seperti diberi transisi video fade in, dia perlahan terlihat di mataku. Tubuh tinggi yang tegap-mungkin lebih tinggi dariku dua puluh senti. Mata tajam yang menusuk. Hmm, mungkin terlalu berlebihan. Mata tajam yang sayu dan mulut yang tertutup masker-masker khas para ansos yang bergambar gigi tajam seperti Kaneki Ken itu berdiri tegak di samping kanan Mamaku.

"Halo." Suara berat nan dalam itu bergema di telingaku.

"Umm ..., ya, halo," jawabku salah tingkah.

"Namaku Alwara Fahri Hamid. Salken." Dia mengenalkan diri dengan singkat-umm, tidak, tapi sangat singkat.

"Oh, nama saya Miwari Ratnasari. Salam kenal juga," jawabku-tidak lebih singkat darinya.

"Ahaa," Mama kembali menyeringai sangat senang-mengerikan, "Mama mau masak dulu nih, buat makan malam, ya, kalian talking-talking ringan dulu aja, yaaa. Unch!"

Astaga ... rasa malu bercampur kesal bercampur di dadaku. Bersatu menjadi rasa jijik yang dilandasi kegenitan dan ke-alay-an yang berasal dari Mamaku. Aku kemudian duduk di sofa tamu dan mempersilakan lelaki itu untuk duduk di sana juga.

I'm TiredWhere stories live. Discover now