15

8.9K 408 24
                                    

Irwan pov.

Ku kepalkan telapak tanganku, entah mengapa mendengar Adam menghubungi Aisyah hatiku begitu gelisah, bahkan tanpa sadar aku mencengkeram bahu Aisyah begitu kuat hingga ia meringis kesakitan. Ku tinggalkan Aisyah sebelum aku melukainya lebih dalam.

"Mas," suara Aisyah mulai memecah keheningan dalam kamar.
"Hm..." ku rasa tangannya dengan lembut mengusap bahuku.
"Maaf," ucapnya, wajahnya terlihat sedih. Kutautkan kedua alisku tanda aku bingung dengan ucapannya.

"Maaf karena aku memberi tahu nomor telepon ku ke mas Adam tanpa izin dari mas," ia menundukkan wajahnya,
Ku tatap ia yang masih menunduk dan kemudian setetes air mata lolos begitu saja membasahi pipinya.

Ku tarik ia dalam pelukkanku,
"Aku maafin kamu," ucapku lembut, tanganku masih mengusap-usap punggungnya dengan perlahan.

Meski aku masih penasaran dengan alasan Adam meminta nomor telepon Aisyah, tapi untuk saat ini aku enggan membuatnya kembali merasa bersalah. Ku urungkan niatku bertanya padanya lebih dalam.
"Aku lapar, kita makan sekarang," ucapku melepaskan pelukkanku.

"Mas ganti baju dulu, kamu tunggu di meja makan sama anak-anak ya" sambungku.

***

Dimeja makan suasana begitu hening, tak ada percakapan hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring, ku tatap Aisyah yang menikmati makannya sambil menunduk. Sesekali aku berdehem namun tidak ada perubahan dari wajahnya.

"Ayah!" ucap Adinda dengan nasi yang masih memenuhi mulutnya.

"Selesaikan dulu makanmu sayang, baru bicara," ucapku pada Adinda.
Ku lihat ia dengan susah payah menelan makanannya.

"Ayah, boleh tidak hari minggu aku sama adik nginep dirumah nenek Ratih?" tanya Adinda.
"Nginap? Berapa lama?"
"Kata nenek satu minggu, nanti om Adam yang akan menjemput," ia kembali memasukkan nasi kedalam mulutnya.

"Biar ayah yang antar ya sayang," ucapku
"Asikk, terima kasih ayah,"
"Sudah sekarang habiskan makannya lalu, masuk ke kamar cuci kaki tidur ya nak," ku usap pucuk kepala Adinda yang duduk di samping kiriku.

"Syah!" ucapku sambil menyentuh tangannya.

Ia begitu terkejut dengan sentuhanku sehingga membuatnya sedikit terlonjak dari duduknya.
"Ya mas," ucapnya cepat.
"Kamu kenapa?"
Ia hanya menggelengkan kepala lalu melanjutkan makannya kembali,

"Habis ini kamu tidur duluan saja, mas ada kerjaan,"
Dan lagi-lagi ia membalasnya dengan anggukkan saja tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya.

Selesai makan aku bergegas keruang kerjaku untuk menyelesaikan beberapa berkas yang belum sempat ku periksa dan ku tanda tangani. Jam sudah menunjukan dini hari ketika berkas terakhir telah ku selesaikan.

Ku regangkan sedikit tubuhku yang terasa kaku karena duduk berjam-jam, kemudian berlalu meninggalkan ruang kerjaku yang sebelumnya telah ku simpan kembali berkas tersebut dan mematikan lampu.

Terdengar suara tangis ketika kakiku hendak memasuki kamar, tangisan diiringi doa yang berasal dari dalam.

"Ya Allah, betapa bodohnya diri hamba yang memberikan hal privasi diri hamba kepada lelaki yang bukan mahram hamba, betapa berdosanya hamba pada suami hamba hingga ia marah kepada hamba dan berujung menyakiti hamba, ya Allah jika dengan cara itu mas Irwan dapat memaafkan keteledoran hamba, hamba ikhlas ya Allah, asal ia meridhoi setiap langkah hamba."

"Ya Allah, hamba tidak ingin menjadi wanita yang menyebabkan fitnah dalam rumah tangga hamba sendiri, jauhkanlah hamba dari segala macam bisikkan setan yang dapat menghancurkan segalanya. Ya Allah, hanya Engkaulah yang maha pengampun lagi maha penyayang, Aamiin,"

Aisyah Wanita Selembut Sutra (Ending)Where stories live. Discover now