17 : Terungkap

9.5K 567 1
                                    

Give me your vote and comment.

*****&*****

Diva melihat deretan kebaya yang direkomendasikan oleh pemilik butik. Dia bingung memilih kebaya yang modelnya seperti apa dan warnanya apa untuk digunakan saat acara perpisahan. Dia pun berkali-kali meminta saran pada Dava yang menemaninya ke butik. Namun, jawaban Dava selalu sama hingga membuat Diva semakin bingung.

"Diva," panggil seseorang dengan nada sangat ketus. Diva tentu langsung mendongak. Ekspresi wajah Diva yang tadi biasa saja langsung datar ketika melihat orang yang memanggilnya.

"Ada apa Tante Alika panggil-panggil aku?" Tanya Diva dengan nada sedingin mungkin. Dava menjauh karena melihat ekspresi wajah keduanya yang saling menatap benci.

"Aku mau kamu jauhi Rangga."

"Aku gak mau jauhi Om Rangga. Aku cinta sama dia dan kami juga udah berhubungan serius. Lagian, ngapain Tante Alika suruh aku begitu? Tante nggak ada hak loh karena Tante cuma mantan istri Om Rangga."

"Aku memang cuma mantan istri Rangga. Tapi, aku lebih pantas sama dia daripada kamu."

"Atas dasar apa Tante Alika bilang bahwa aku gak pantas buat Om Rangga?"

"Kamu itu masih muda dan masih labil. Kamu pasti bakal susah mengendalikan Rangga karena mengendalikan diri aja kamu masih berusaha. Kamu bakal fokus sama pendidikan dan pasti kamu bakal kesusahan mengurus Rangga. Satu lagi, kamu itu anak haram."

"Maksud Tante apa ngatain Diva anak haram?" Dava mendekat dengan raut emosi.

"Ngatain? Orang kenyataan kok kalau kamu dan Diva itu anak haram. Sinta, Mama kalian, itu hamil sebelum menikah. Dia menikah dengan Ray itu karena adanya kalian." Alika dengan tanpa merasa dosa mengatakan hal yang selama ini tak Sinta dan Ray bicarakan.

"Tante jangan fitnah," ucap Diva ketus.

"Fitnah? Cek aja buku nikah orang tua kalian dan bandingkan jarak tanggal lahir kalian dengan tanggal nikah mereka," ucap Alika dengan santai. Dava dan Diva terdiam setelah saling pandang sejenak.

"Terima kasih informasinya, Tante." Diva mengucapkan itu dengan mata berkaca-kaca. Dia kemudian pergi dari butik sebelum menentukkan kebaya yang akan ia beli. Dava menatap sinis Alika secara sekilas sebelum menyusul kembarannya pergi.

"Div," panggil Dava dan meraih tangan gadis itu.

"Apaan sih Dav? Aku pengin cepet pulang. Aku pengin tahu kebenarannya."

"Iya, gue tahu. Gue juga sama kayak lo, pengin cepat tahu. Tapi, gue mohon lo tenang. Jangan nangis-nangis kayak gini. Gue gak mau rumah jadi heboh nanti," ucap Dava.

"Apapun nanti kenyataannya, kita gak boleh buat keluarga jadi bermasalah. Kita harus ikhlas." Dava memberi nasihat. Diva tak berbicara apapun dan meninggalkan Dava. Cowok itu menghela nafas. Cukup susah menenangkan Diva.

***

Diva masuk ke dalam rumah. Dia langsung melihat Sinta yang tengah menyuapi Gea. Emosi yang tadinya menggebu-gebu meredam begitu saja melihat senyum Sinta. Rasanya sedikit berat untuk menanyakan hal sensitif itu pada wanita yang telah mengandung, melahirkan, dan merawatnya. Tapi, Diva ingin tahu yang sebenarnya untuk menghilangkan sesuatu yang mengganjal hatinya.

"Bang Vano, Kak Div," teriak Gea sambil berjingkrak. Diva tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Sinta yang melihat itu pun mengerutkan dahi.

"Kamu kenapa sayang?" Tanya Sinta memegang pipi Diva. Bukannya menjawab, air mata Diva malah tumpah. Sinta semakin bingung.

"Sayang, jawab Mama. Kamu kenapa nangis?"

"Tante Alika tadi samperin kami di butik dan dia menyuruh Diva menjauhi Rangga karena banyak hal yang bikin Diva gak pantes buat Om Rangga. Salah satunya adalah karena katanya Diva anak haram yang otomatis aku juga kalau itu benar," jelas Dava. Sinta terdiam dengan jantung yang berdegung sangat kencang.

"Apa bener kata Tante Alika, Ma?" Tanya Diva pelan. Sinta menatap putrinya. Air matanya ikut turun. Dia bisa merasakan apa yang Diva rasakan karena dia juga tak jauh berbeda dengan putrinya itu.

"Mama emang hamil sebelum menikah, tapi Mama gak pernah menganggap kalian anak haram. Gak ada anak haram di dunia ini, sayang," ucap Sinta. Keadaan mendadak menjadi hening. Sinta menjadi takut sendiri. Dia takut kedua anaknya akan benci karena mereka ada sebelum dirinya menikah.

"Mau apapun sebutannya, tetap Mama hamil di luar nikah yang artinya aku gak bisa di-nisabkan ke Papa. Dimana otomatis ucapan Tante Alika benar, aku gak pantes buat Om Rangga." Diva berucap lemah kemudian pergi ke kamarnya. Air mata Sinta menetes. Dia tak bisa menecegah anaknya karena dia tak kuasa.

"Mama jangan nangis," ucap Dava mengusap air mata Sinta dan memeluk Mamanya itu. Sinta membalas pelukan Dava dan menumpahkan tangisnya di pelukan putranya.

"Maafin Mama. Mama juga gak mau hamil di luar nikah."

"Mama gak perlu minta maaf."

"Gak, Mama harus minta maaf karena bikin kalian sedih."

Dava mengusap punggung sang Mama. Sejujurnya, Dava sedikit marah karena kedua orang tuanya melakukan hubungan di luar pernikahan. Tapi, dia tak boleh membentak apalagi membenci. Toh, dia tak tahu sebenarnya sang Mama hamil karena atas dasar suka sama suka atau paksaan dari Papa-nya.

***

Setelah mendengarkan cerita dari Sinta, Ray langsung menemui Dava dan Diva. Hatinya mencelos melihat mata Diva membengkak. Kentara sekali Diva menangis sangat lama. Rasa penyesalan dan bersalah yang sudah lama hilang kembali muncul karena terungkitnya masa lalu ini.

"Papa minta maaf karena obsesi Papa dahulu membuat kalian ada sebelum adanya pernikahan," ucap Ray. Dia pun menceritakan semua yang terjadi di masa lalu. Bagaimana bisa mereka ada. Dava dan Diva mendengarkan secara khidmat. Hingga saat sudah selesai bercerita, Diva langsung memeluk papa-nya.

"Aku gak marah ataupun benci sama Papa kok. Diva cuma syok. Maaf kalau karena kejadian ini membuat rumah menjadi rusuh. Gea yang masih kecil malah harus dengar ini," ucap Diva. Ray mengecup pucuk kepala putrinya.

"Semua udah takdir, Pa. Gak ada gunanya kami membenci dan menyalahkan masa lalu. Lebih baik kami ikhlas menerima kenyataan ini. Biar ini jadi pelajaran agar ke depannya gak terulang lagi," ucap Dava dengan bijak. Ray tersenyum bangga. Dia beruntung memiliki anak yang hatinya begitu lapang. Mungkin, itu bawaan dari Sinta karena istrinya itu juga dulu mengalami hal yang sama seperti Diva. Bahkan, mungkin lebih parah dari ini.

"Mama mohon, kalian jangan pernah merasa minder ya? Mama gak mau hal ini bikin kalian jadi tertutup."

"Gak kok, Ma," ucap Dava. Diva hanya diam karena dia ragu. Dia tak yakin dirinya tidak minder. Mengingat ucapan Alika tentang kepantasannya untuk Rangga.

"Aku bakal berusaha, Ma," ucap Diva. Sinta diam menatap putrinya. Dia tahu Diva sedang memikirkan ucapan Alika.

"Jangan pernah peduli sama ucapan orang, apalagi Alika. Dia itu cuma komentator hidup orang, bukan juri yang menentukan nilai kepantasan seseorang. Cuma Allah yang bisa menilai kamu pantas atau tidak, sayang." Sinta mengelus pipi putrinya.

"Maaf, Ma. Ucapan Mama kali ini gak bisa membantu Diva merasa lebih baik."

~Bersambung~

The Mother's Friend (END)Where stories live. Discover now