DUA PULUH SEMBILAN

5.8K 785 324
                                    

.

.

"BENAR! LALU KENAPA? MEMANGNYA TAK BOLEH MENERIMA HADIAH DARI PACAR SENDIRI?"

.

.

.

.

Namjoon masih menggaruk-garuk tengkuk dengan canggung ketika pandangannya bertemu Seokjin yang kini menggigit bibir kuat-kuat—malu bukan main. Dibanding dirinya, cuping telinga sang senior terlihat jauh lebih tegak dan merah, tanda bila pemuda itu sedang tersipu hebat. Apalagi kalau bukan karena teriakan melengking dari segala sisi, berbaur siul nyaring dan lolong antusias dari para calon panitia. Terkejut, tentu. Mendengar pernyataan lantang dari mantan ketua tim kedisiplinan yang selama ini selalu bersikap ketus dan menampik sekuat tenaga, jelas merupakan berita dramatis yang sukar dipercaya.

"Kalian dengar, tidak?"

"SERIUS, HYUNG?"

"Pacar, katanya??"

"Pacar, hoi!! Pacar!!"

"TIM DOKUMENTASI! AKAN KUCEKIK KALIAN KALAU ADEGANNYA TIDAK TEREKAM!!"

Sementara mulut-mulut berisik yang masih histeris itu menyoraki tiada henti, Seokjin memilih melepas genggamannya dari tangan Namjoon seraya bergegas menjauh dalam hitungan detik. Tidak berlari, tidak melesat. Hanya berjalan cepat sambil berusaha mengabaikan tiap ucapan beserta tepuk tangan yang mengiringnya keluar dari aula. Pun begitu, aura sengitnya masih berkobar ketika Seokjin menyusupkan kepala untuk melontarkan sebuah peringatan.

"SELESAIKAN LATIHANNYA!!" gertak pemuda itu sebelum menghilang, muka merah padam, "........dan berhenti bersorak."

"CIEEEEEEEEEEEEEE!!!!"

Pintu dibanting kasar dan para mahasiswa tertawa. Namjoon menggeleng-gelengkan kepala diantara rekan-rekannya yang sigap berkerumun mengerubungi, berkomentar sekaligus menanyakan berbagai hal dalam waktu bersamaan. Tak sanggup menjawab satu persatu, Namjoon hanya tergelak kecil seraya menjabat ulang tangan-tangan jahil yang memberinya selamat bak acara temu mempelai. Tidak termasuk regu basket sejawatnya di sisi podium, dimana Jungkook masih berseru mengancam akan menghabisi pihak penyangga kamera jika momen prestisius antar pasangan fenomenal tersebut tak tertangkap sempurna. Taehyung menyerah memotret apapun, sementara Yoongi duduk bersila di kotak perlengkapan—menunggu bubarnya bocah-bocah berisik di sekitar supaya bisa menyindir lebih mantap. Sepertinya tekad Namjoon untuk tak mengencani siapapun selama dua tahun terakhir sudah mendapat bayaran yang pantas. Anggapnya, selama keputusan tegas belum terlontar langsung dari mulut Seokjin, maka Namjoon masih memiliki kesempatan meski nyaris mustahil. Namun yang terjadi sejenak tadi benar-benar di luar dugaan Yoongi.

Tak ada yang menyangka bila Seokjin akan berdeklarasi depan banyak orang, melemparkan diri ke pelukan Namjoon serta mengaku lebih dulu. Sikapnya ketika menyandarkan kepala ke pundak pemuda itu tampak sangat luwes dan tenang, tak seperti gestur dua orang yang baru bertemu setelah belasan bulan.

"Dia serius?"

Namjoon mengerjap tak mengerti, susah payah menyingkir setelah kerumunannya diusir oleh Jungkook, "Soal apa?"

"Menyebutmu sebagai pacarnya."

"O, oh, ya," pipi Namjoon merona lagi, "Sejujurnya aku tidak tahu. Hyung tidak membicarakan apapun soal itu saat kami ngobrol di beranda kemarin malam."

Alis Yoongi terangkat sarat makna, "Cuma ngobrol? Yakin?"

"Dari kamar masing-masing, jangan mengira yang tidak-tidak."

"Aku cuma meruntut jalan cerita," Yoongi berkilah tak acuh, melirik benda yang melilit di leher rekannya, lantas tertawa datar, "Syal kembar, picisan sekali. Mentang-mentang musim sedang dingin. Apa tak ada hadiah yang lebih wajar?"

SOTUS (NamJin) - Of Iced Coffee and Pink LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang