TIGA PULUH

6.4K 764 288
                                    

.

.

.

"HUKUMAN FISIK HANYA GARA-GARA TANDA TANGAN YANG KURANG? OTAK KALIAN MASIH SEHAT ATAU TIDAK, SEBENARNYA?" bentak pemuda berambut keperakan tersebut, berdiri melipat tangan di balik punggung, dada membusung, mata berpendar mengamati sekeliling. Selusin kursi tertata mengitarinya bagai sidang tak bermeja, dua belas pasang mata menilik seksama, tangan bersedekap, "Hukuman fisik baru diberlakukan untuk kesalahan yang tidak bisa ditolerir oleh dua kali peringatan. Bentuknya terbatas push up kurang dari sepuluh atau wujud pemanasan sederhana yang tercantum di buku panduan. Bukan berlari keliling lintasan puluhan kali!! Itu penyiksaan namanya!"

Seorang panitia berjas gelap menyahut dari keremangan cahaya, "Pedoman kita adalah tegur keras, tegas—"

"......tanpa menindas," pangkas Namjoon, memotong ucapan, "Disiplin tidak selamanya harus ditegakkan dengan kekerasan, apalagi berdasar pelampiasan. Aku tahu banyak diantara rekan-rekan sekalian yang bersikeras menyalurkan kekesalan atas proses pelatihan yang dialami, dulu. Dan kalau hal ini berlanjut terus menerus, maka tujuan orientasi bukan lagi agar saling membaur atau membina kebersamaan, melainkan demi balas dendam yang berlarut-larut."

"Sulit, ketua," tukas panitia lainnya, "Sangat sulit."

"Sulit atau tidak, itu bergantung nurani masing-masing," Namjoon menimpali, "Memang cukup mustahil menghilangkan tradisi penyaluran yang sudah mendarah daging, tapi jika bisa meminimalisir meski sedikit—hanya sedikit, aku yakin persentase mahasiswa yang menyesali pemilihan jurusan di malam pengikatan temali, akan jauh berkurang dari tahun sebelumnya."

Sejumlah kepala menggaruk dagu mereka seolah tengah menimbang-nimbang, lantas sibuk menulis komentar di catatan masing-masing. Penilaian uji coba serta simulasi kelayakan calon ketua pengawas yang diadakan di ruang klub drama, berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan Namjoon. Mulai dari jam lima sore hingga menjelang setengah delapan, dirinya harus menjalani wawancara dari panitia tahun lalu serta alumnus yang datang sebagai tamu.

"Kandidat tunggal yang satu ini memang terlalu banyak bicara, tapi karena tak ada calon lain, jadi apa boleh buat," sergah salah satu anggota penguji, beranjak bangkit dari kursi sambil mengibas jas fakultasnya, congkak. Rambut gelap menutupi sebagian pelipis dan tampak sengaja melambatkan langkah menghampiri Namjoon di tengah lingkaran. Senyum meremehkan tersungging di sudut bibir, lidah bergulir di dinding mulut selagi mata memicing di hadapan Namjoon yang berdiri sangat tenang, tak terusik.

"Jadi, senior ketua yang terhormat," Seokjin memulai, menciutkan suara agar terdengar mirip seorang junior, "Bagaimana kalau aku menolak menuruti perintah kalian untuk mengumpulkan seribu tanda tangan?"

"Kenapa tidak?"

"Karena malas, mungkin?" timpal Seokjin balik, mencemooh, "Tadi senior berkata supaya tak menindak peserta terlalu kejam demi mengurangi kesenjangan dan dendam. Lantas, apa yang akan senior lakukan padaku atas pelanggaran ini, hm?"

Berusaha menelaah, Namjoon masih menyikapi aduan tersebut tanpa meninggikan intonasi, "Berapa banyak tanda tangan yang sudah kau kumpulkan?"

"Tujuh ratus, dan aku tak mau melanjutkan."

"Tujuh ratus?"

"Yep," Seokjin mengulang, lebih mantap dan pongah, "Apa senior berniat menyuruhku keliling lapangan sebanyak jumlah tanda tangan yang tersisa?"

Menatap tajam pemeran adik angkatan yang terlihat sedang menantang, Namjoon menjawab ujarannya penuh penekanan, "Baiklah, tiga ratus kali."

"Berlari?"

"Berciuman."

"..........h, hah?" bola mata Seokjin melebar seketika, lipatan di dadanya longgar terkulai di sisi tubuh, "Apa katamu?"

SOTUS (NamJin) - Of Iced Coffee and Pink LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang