18 | Cemburu

67 5 2
                                    

18 | Cemburu?

***

Denver duduk bersila di karpet dekat dengan tempat tidur. Hari Minggu dengan setumpuk PR. Buku tugas bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika berserakan di dekatnya. Hanya PR matematika yang membuat Denver mengerang, tidak bisa menjawab soal nomor ketiga dari total sepuluh soal.

“Zetta?” Denver bergumam, lalu menggeleng. “Nggak, nggak. Mana mungkin Zetta mau ngajarin.”

Secangkir teh hangat di meja lipat, mengeluarkan uap. Sasmi yang menyiapkannya untuk Denver meskipun ini hari Minggu. Hari di mana seharusnya Sasmi beristirahat dan berlibur sejenak. Denver merenggangkan otot lengannya yang kaku, bunyi gemeretak membuat Denver meringis pelan. Ternyata dia sudah berkutat dengan buku selama dua jam, satu jam mungkin banyak dihabiskan melamun perihal soal-soal matematika.

Sebenarnya, ia sengaja menyibukan diri supaya tidak perlu bertemu Divo. Denver merasa bersalah sekaligus kecewa secara bersamaan. Merasa bersalah karena telah membuat Divo marah akibat keinginannya mendirikan toko bunga. Kecewa karena Divo ternyata tidak mengingat hari ulang tahunnya.

Denver menyesap teh hangat. Ia berjalan mendekati jendela. Menyandarkan sisi kanan tubuhnya di kusen jendela yang mengarah ke halaman depan rumah. Udara terasa dingin. Masih pukul delapan pagi. Tiba-tiba ponselnya berdering, menyentak Denver dari lamunan. Denver melompat ke atas tempat tidur seraya meraih ponsel, tertelungkup. Menggeser tombol untuk menjawab dengan mata memejam. Malas. Mungkin efek hari Minggu.

Den.”

Suara di seberang telepon membuat Denver membuka mata secepat kilat. Tubuhnya sampai berguling hingga mengambil posisi duduk. “Zetta?”

Hm.” Zetta menarik napas. “Kayaknya kita harus omongin soal perjanjian itu.

“Kenapa?” tanya Denver masih dikuasai rasa terkejut. Mengingat Zetta jarang menghubunginya lewat telepon. Mungkin ini baru kali pertama. Kali pertama pula Denver mendengar suara cewek itu lewat sambungan telepon. “Ish, nggak bisa. Aku lagi sibuk.”

Aku lagi neror nih. Pokoknya kita harus ketemu!

Denver menjauhkan ponsel, mengernyit. Dua detik kemudian, Zetta kembali bersuara.

Gimana?” tanya cewek itu. Suaranya memelan.

“Ini kenapa jadi kamu yang banyak ngomong deh?” Denver tersenyum miring. “Harusnya aku tahu.”

Kamu abis bangun tidur?” ujar Zetta.

“Nggak, habis ngerjain PR. Udah dibilangin aku sibuk.” Denver berselonjor sambil melirik buku yang berserakan di karpet, belum sempat dia benahi karena telepon Zetta.

Zetta bertanya, “Serius?

“Mau bukti? Ganti video call.”

Nggak mau.

Denver menaikkan satu alisnya. “Baru bangun tidur, ya, kamu?”

Sok tahu banget, Denver. Nggak berubah, ya.” Zetta mendengkus. “Btw, kamu ngerjain PR apa?

“Matematika. Bantuin dong.”

Terdengar kekehan kecil di ujung sana. “Janji dulu kalau kamu mau ke taman sekarang.

“Iya. Aku yang jemput.” Denver menjauhkan ponselnya. Tanpa menunggu perkataan Zetta berikutnya, dia memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Denver sudah mandi ketika mengerjakan soal-soal tadi, memakai kaus putih polos. Tinggal mengambil jaket dan kunci motor lalu meluncur menemui Zetta.

Denver [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang