28. Same Feeling

80.1K 6.2K 753
                                    

"Aduuh, pelan-pelan Naula...."

Naula meminta maaf sembari hati-hati melepas kassa lama dari luka jahit di dahiku.

Luka jahit sepanjang lima sentimeter.

"Ck," Naula berdecak sembari mengganti dengan kassa steril yang dibasahi air masak "bisa-bisanya sih kalian ini kejebak di tawuran geng? Ini lukanya bakal bekas. Kamu itu cewek, masa punya bekas luka di wajah?"

Naula ngedumel seperti ibu-ibu. Setelah selesai menutup lagi luka jahitku yang kudapat kemarin, ia lalu memberiku multivitamin.

"Untung Pak Said sama Pak Ron udah boleh pulang besok. Kita kemarin satu kantor udah cemas sama pertemuan pihaknya Daeriman, eh malah ada kabar kalian kejebak tawuran!"

"Umur satu kantor berasa kurang satu tahun gara-gara jantungan, tahu! Nggak kamu, nggak Pak Said, hobi banget sih bikin perkara!" Naula tetap menggerutu. Tapi ia malah merapikan tempat tidurku dan menyuruhku istirahat.

"Aku tahu kita ini kerja di perusahaan berita. Tapi kita ini bagian kreatif! Bukan jurnalis! Ngapain sih Pak Said pake terjun diri ke tawuran? Emang dia punya ilmu kebal, apa?! Heran deh sama orang-orang ini!"

Aku nyengir.

Aku sudah bisa bayangkan nasib anaknya kelak.

"Jangan main hape dulu. Langsung tidur aja." Dia lalu menuju pintu "aku mau beli makan sama Adikku. Mau nitip apa?"

Aku hanya menjawab titip camilan. Lalu Naula benar-benar pergi dari hadapanku.

Suara marah-marahnya masih terngiang. Hebat benar.

Aku menghela nafas. Tapi kemarin itu memang benar-benar memacu jantung. Aku belum pernah dihadapkan dengan kejadian besar seperti perang geng.

Menurut kabar yang berhasil dihimpun Pak Said, kejadian kemarin merupakan tawuran antar kelompok geng wilayah Tengah dan Selatan. Penyebabnya masih simpang siur.

Ada yang bilang mereka berebut lahan parkir hingga perang antar geng akibat narkoba.

Beberapa mengatakan bahwa terkait kasus pembunuhan salah satu anak buah dari kelompok Tengah. Mayatnya ditemukan di daerah kelompok Selatan.
Jadi semacam dendam.

Lalu ketika kelompok Selatan sedang memeriksa hasil pengawasan proyek sebuah perusahaan dari gangguan orang-orang yang tidak diinginkan, tiba-tiba terjadi serangan dari kelompok Tengah.

Seketika seperlima wilayah Metro Jayatri Selatan menjadi daerah mencekam. Lalu sangat sialnya aku terjebak.

Dan bertemu Tama.

Aku menarik nafas dengan berat. Aku tidak tahu apa ini, tapi aku kalut. Aku tidak tenang.

Apa yang terjadi dengannya setelahnya? Ya Tuhan, melihatnya diantara puluhan orang saling ingin membunuh seperti itu.

Tama adalah preman. Ia pasti berkutat dengan segala hal yang berhubungan dengan dunia kriminal; kekerasan, penganiayaan, narkoba, pemalakan, dan mungkin saja prostitusi.

Walaupun Ernest pernah bilang bahwa Tama terpaksa masuk ke dunia preman, itu bukan jaminan dia tidak melakukan hal-hal tersebut.

Perasaanku kacau. Aku mencintai orang yang salah. Salah dan berbahaya.

Semenjak mengenal Tama, aku jadi menerobos batas norma.

Jujur saja, waktu itu selain terkejut, adrenaline membuatku ingin keluar dari mobil dan menghampirinya. Mungkin saja merengkuhnya.

Aku tertawa sumbang. Sudah move on, hah? Apanya, dasar kau memang bodoh Ranu, batinku getir. Kau tahu dia itu bukan orang yang bisa berbagi hidup denganmu.

Test Drive(r)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang