30. Crawling Back

71.2K 6K 769
                                    

"Iced Latte satu ya."

"Iced Latte satu, ya Kak. Mau tambah lunch atau snack?"

"Nggak. Itu aja dulu. Terimakasih."
Kasir itu menekan lagi mesin uang lalu menyebutkan nominal yang harus aku bayar dengan ramah sebelum menambahkan "ditunggu lima menit ya kak. Nanti kami antar di meja Kakak."

Aku meraih nomer meja dan memilih tempat di dekat jendela. Untuk mengamati siapa yang lalu lalang. Atau untuk mempersiapkan diri jika perempuan itu datang.

Dahlia.
Seberapa keras aku mengatakan pada diriku bahwa aku sudah tidak punya hubungan apapun dengan Tama, nama perempuan itu masih menerbitkan perasaan jengah.
Aku tidak menyukai perempuan itu.

Aku teringat masih terhenyak ketika mendapat pesan dari Dahlia dua hari lalu. Pesan yang menyapa namaku lalu menanyakan tanpa basa-basi apakah kami bisa bertemu.
Aku balik bertanya darimana ia tahu nomerku. Tapi dia menjawab kalau semua rasa penasaranku akan terjawab jika kami bertemu.

Apa sih maunya?

Aku sebenarnya tidak mau bertemu. Dia tahu nomerku pun juga aku tidak peduli. Tapi Dahlia bilang ini penting. Tidak hanya soal Tama. Aku menghela nafas kesal. Jadi kami sepakat untuk bertemu di sebuah cafe di Metro. Sekalian aku menjenguk Mama.

Mungkin saja Dahlia ingin mengkonfrontasi diriku secara terbuka karena dia tahu bahwa aku dan Tama sempat tidur bersama lagi sebelum aku menghilang dari mereka?
Hah, konyol. Basi kalau dia mau ngamuk sekarang. Mau mempermalukanku di publik juga nggak guna. Aku nggak merebut Tama darinya karena aku memutuskan untuk pergi.

Pesananku datang bersama welcome snack. Aku sengaja datang lebih awal. Menunggu bisa membuatku sedikit lebih nyaman.

Limabelas menit kemudian kulihat sebuah mobil di depan halaman cafe berhenti. Dari kursi penumpang belakang, seorang gadis cantik semampai keluar.
Itu Dahlia. Dari jendela lebar itu dia juga melihatku. Tampak tidak terkejut. Ia hanya memandangku sebentar lalu masuk dan menuju bar depan memesan sesuatu. Setelahnya dia menuju ke mejaku.

"Udah lama?" Tanyanya basa-basi tapi tidak juga mengulas senyum.

"Nggak juga." Jawabku singkat. Aku tak perlu menawarkan tempat duduk karena dia duduk dengan sendirinya. Terjadi keheningan. Aku mengamati sosok di depanku. Hanya memakai turtleneck warna hitam dan celana high waist warna beige. Rambutnya dikucir sederhana.
Tapi dengan penampilan begitu saja dia bisa menarik beberapa pasang mata tanpa susah payah. Aku bertaruh pasti banyak pria yang langsung tertarik ketika melihatnya.

Perempuan ini menguarkan keseksian tanpa perlu berusaha untuk seksi. Ya baik Tama maupun dirinya memang cocok. Mau tak mau aku merasa muak juga dengan kenyataan itu.

"Kamu tahu nomerku darimana?" Tanyaku memecah keheningan karena tampaknya Dahlia tidak juga membuka mulutnya.

"Kamu cuma penasaran soal itu? Nggak penasaran soal kenapa aku minta ketemu?" Tanyanya balik. Aku menggeleng.

"Kalau soal Tama aku rasa udah nggak ada yang perlu diomongin. Aku udah pergi dari kehidupan pacarmu itu. Jangan bawa-bawa aku lagi." Serangku. Dahlia mengangkat ujung bibirnya, sedikit memberengut. Lalu dia menghela nafas.

"Tama sering mencarimu di rumah Ibumu." Ujar Dahlia "aku tahu itu setelah memaksa Ernest mengatakan apa yang dilakukan Tama hingga seperti orang gila. Tama tidak menyerah soal dirimu."

Jadi Dahlia juga kenal Ernest? Aku tidak  menyangka hubungan mereka ternyata jauh lebih dekat dari yang kukira. Jika Dahlia mengenal Ernest, berarti memang Tama sudah lama bersama Dahlia.

Aku menelan ludah. Aku memang bisa dibilang kabur dari Tama. Tapi jika dia mencariku seperti itu buat apa? Sampai-sampai ke rumahku.

"Lalu?" Aku meminta Dahlia meneruskan ceritanya.

Test Drive(r)Where stories live. Discover now