36. Dangerous Serenity

49.9K 4K 936
                                    

WARNING.  Ada adegan nganu setelah sekian lama ya hahaha. Yok yang masih under age dan resolusi tahun barunya mengurangi bacaan enaena silahkeun di skip aja yang bagian enaenanya.

Ntar saya direport lagi. Smh.

TRIGGER WARNING. Personally, ini adalah episode yang saya suka tapi memicu kekesalan. 

Regards, Lust Lucifer

*******

Aku merapikan peralatanku ketika kami selesai rapat intern divisi di bawah pimpinan Pak Said. Rapat harian.

"Aku mintain resep rolade Mama mu dong." Ujar Naula ke desk ku. Aku mengangguk dan memberinya senyuman.

Naula yang bagiku bak Ibu Peri itu lalu melengang ke desknya sendiri.

Rasanya sekarang menatap Naula tidak akan pernah sama lagi.

Bagaimana bisa sama jika di belakangnya aku malah bercumbu dengan gebetannya?

Naula tampak tidak menaruh pikiran apapun terhadapku. Dia masih Naula yang sama. Dia masih membuat sarapan namun aku dengan alasan tidak nafsu makan, menolaknya.

Namun yang membuatku lebih kalut sekarang adalah aku harus segera mencari waktu untuk bertemu Verdian dan menyatakan putus.

Alasannya jelas, aku tidak menyukai Verdian seperti rasa sukaku kepada Tama. Aku tidak mau berlaku seperti pacar brengsek, punya pacar tapi nafsunya dengan orang lain.

Dan alasan bahwa jika aku tetap bersama Verdian, seperti kata Tama, aku akan dalam bahaya. Entah bahaya itu yang menghampiriku, atau aku yang menghampirinya.

Aku berjalan ke lorong menuju pantry. Bermaksud membuat secangkir minuman hangat untuk mempersiapkan hati.

Aku sudah mengirim pesan kepada Verdian. Sore besok aku ingin kami bertemu selepas kerja. Aku akan selesaikan saja.

Aku bahkan mengatakan bahwa pertemuan kami adalah membahas masa depan hubungan kami.

Dengan alasan bahwa, hubungan kami tampaknya tidak akan kemana-mana.

Langkah kakiku melambat ketika secara kebetulan, aku berpapasan dengan pria itu. Jantungku berasa berhenti sejenak. Lalu berdegup dua kali lebih kencang.

Tama, dengan teman satu divisinya.

Rambut yang ditata ke belakang, kemeja putih dan celana jeans gelap. Fashion biasa, namun sosoknya yang luar biasa.

Luar biasa karena bisa membuat perasaan bergejolak, hanya dengan memandang sosoknya saja.

"Pagi Ranu." Sapaan hangat. Bukan Tama yang menyapa. Tapi temannya.

Tama hanya menatapku, dengan senyum yang jika dilihat orang lain adalah senyum formal ramah.

Tapi bagiku, ada maksud lain.

Aku membalas sapaan Gilbert---teman Tama tersebut dengan senyum ramah.

"Mau kemana?" Tanyaku basa-basi.

"Ngopi. Mumpung belum banyak kerjaan. Ikut?" Tawar Gilbert. Aku menggeleng. Lalu segera pamit.

"Aku minum di pantry aja."

Ya sebenarnya aku ingin ikut. Dengan Tama saja. Tapi jelas sekali kan kami sedang bermain peran 'tidak saling kenal'?

Apalagi kemudian aku mengingat kejadian kemarin. Bahkan sebelum dia meninggalkan kontrakan, dia masih sempat memberi dua-tiga ciuman.

Astaga, mengingat begitu saja membuatku tegang. Aku reflek menyentuh belakang leher, menetralisir bulu kuduk yang meremang.

Aku masuk ke pantry.
Di sini selalu tersedia minuman kemasan apapun. Jika awal minggu seperti ini bahkan kami disediakan minuman mahal. Susu almond, contohnya---yang akan habis sebelum jam istirahat.

Test Drive(r)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang