Di belakang kebun tebu dekat komplek ada rumah berbata merah. Setiap harinya asap mengepul dari jendela dapur. Pakaian basah dijemur di pekarangannya. Berkibar-kibar tertiup angin, seringkali terbang dan nyangkut di semak-semak.Pernah juga jatuh dan hilang diambil orang. Aku dengar ini dari Ibu. Rumah ini rumah Ijul, temanku yang tengil. Bapaknya Ijul dan Bapakku satu kantor dan berteman akrab. Pak Amin dan Bu Mae, orangtua Ijul, sering datang ke rumah membawa beberapa bungkusan permen gula-gula di hari-hari tertentu. Ijul ikut, selalu ngumpet di belakang rok Ibunya. Bapaknya bilang Ijul anak baik, penurut. Kalau sudah begitu lidahnya pasti melet-melet. Meledek ke arahku tanpa terdengar suara. Mukanya menyebalkan. Aku selalu ingin membalas Ijul. Tapi tidak pernah kulakukan, takut ketahuan Ibunya.
Pak Amin sempat ambil cuti karena sakit dan sering berkunjung ke rumah, mengobrol bersama Bapak. Dan tebak siapa yang ikut? Ijul! Ini berarti petaka untukku. Kalau ada Ijul di rumah, biasanya aku singgah ke rumah Nadya, bermain. Kali ini kami bermain boneka dan ibu-ibuan. Della, Pipi, dan Lidya juga ikut dengan bonekanya masing-masing. Aku paling suka boneka milik Lidya. Namanya Gadis, kulitnya terbuat dari kain perca dengan baju merah muda dan rambut diikat dua. Sedang asyik bermain, tiba-tiba Ijul muncul. Anak laki-laki tidak boleh ikut bermain! Anak laki-laki kan tidak bisa jadi ibu. Lagipula Ijul tidak punya boneka. Muka Ijul merah dan tampak kesal. Ijul mengambil paksa boneka Lidya, rambut Gadis ditarik sampai pitanya lepas. Lidya mengejar Ijul. Ijul mengacungkan Gadis tinggi sekali. Kami berusaha mengambil Gadis yang malang dari cengkraman Ijul. Lidya meraung-raung meminta bonekanya dikembalikan. Ribut sekali! kami menarik-narik lengan dan baju Ijul. Gadis terlempar ke kubangan.
Lidya menangis dan memungut Gadis yang sudah basah kecoklatan. Dipandanginya Gadis, tangisnya semakin kencang. Tidak lama Ibu Nadya keluar dari rumah, menyuruh kami menyudahi bermain dan tidur siang. Lidya diantar ke rumahnya dengan Gadis yang kuyup. Ijul tidak mau minta maaf, malah menyalahkan kami. Aku kesal sekali!
Karena ada Ijul di rumah, hariku jadi terasa amat lama. Pak Amin masih berbincang dan tertawa-tawa bersama Bapak. Obrolannya seputar angka-angka. Pikirku, membosankan sekali jadi orang dewasa, hal yang menyenangkan bagi mereka hanya berbicara soal deretan angka. Aku tidak mengerti satu pun tentang apa yang dibicarakan, membosankan. Dan yang lebih membosankannya lagi, aku jadi tidak bisa bermain boneka dan ibu-ibuan karena Ijul. Aku tidak mau dekat-dekat dengan Ijul yang menyebalkan. Lihat saja, walaupun menempel dengan Bapaknya Ijul masih sempat-sempatnya membuat muka menyebalkan untuk meledek. Kubalas pun semakin menjadi.
Bapak mengajak kami semua untuk sholat magrib berjamaah di mushola dekat komplek. Di sepanjang perjalanan dari rumah, Bu Mae sibuk menceritakan tentang Ijul yang pintar dan lembut. Dahiku berkerut memandangi Ijul, tidak percaya. Ijul manggut-manggut, mukanya puas sekali lalu kembali menjulurkan lidah ke arahku. Kuadukan ke Ibu, seketika Ijul jadi bermuka polos. Dasar Ijul!
Aku sholat di samping Ibu dan Bu Mae. Bapak, Pak Amin, dan Ijul ada di barisan depan tempat untuk anak laki-laki. Lalu saat jamaah masjid mengucapkan Aamiin.. kudengar suara Ijul lantang mengucapkan "BAAPAAK...."
Saat selesai sholat, Bu Mae bertanya sambil menjewer kuping Ijul kenapa tidak ikut mengucapkan Aamiin. Katanya
"Takut kualat Mak"
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Lembut
General FictionSetiap sore paling asyik naik ke atas genteng rumah menyaksikan matahari terbenam. Siapa gerangan pelukis yang mengecat langit biru menjadi jingga? Berawan tipis merah muda dan putih? Dalam waktu singkat langit menjadi begitu berwarna! Semut-semut m...