Pohon Kersen

1.4K 72 26
                                    

Di komplek rumah kami ada lapangan luaas sekali. Letaknya persis di tengah. Kalau sore dipakai untuk menerbangkan layang-layang, kadang untuk bermain bola. Di musim hujan tanah di lapangan jadi berlumpur. Anak laki-laki dewasa sering bertelanjang dada dan bermain di sana sampai lumpur menutupi seluruh badan mereka. Aku juga ingin! tapi kata Ibu tidak boleh, katanya tidak ada anak perempuan yang bermain lumpur. Yah!

Di hari-hari tertentu kalau tidak ada pletekan, aku, Nadya, Della, Pipi, dan Lidya, biasanya pergi ke lapangan. Sepeda direbahkan di samping lapangan. Sepeda kami tidak bisa naik. Ada pembatas jalan berwarna hitam putih mirip zebra yang menghalangi. Sepeda kami terlalu berat untuk dinaikan. Lagipula aku terlalu kurus untuk mengangkatnya. Ijul seperti biasa sudah lebih dulu ada di lapangan. Kaos kutang dan celana pendeknya penuh bunga rumput. Ijul menghampiri kami sambil menggulung benang layangannya yang putus.

"Mau main ke rumah?"

Nadya yang sedang sibuk menggulung celananya agar tidak tertusuk bunga rumput menggangguk cepat.

"Iya Jul, tapi belum bawa botol."

Pipi dan Lidya yang sedari tadi sudah selesai menggulung celana menghampiri Ijul. Walaupun celananya sudah digulung, Lidya tetap berjalan berjingkat-jingkat dengan langkah besar menghindari bunga rumput. Tapi tetap saja bunga rumput nyangkut di hampir seluruh baju dan celananya. Ijul memberi tugas kepada Pipi dan Lidya untuk membantunya menyusuri sisi-sisi lapangan. Mencari botol minuman bekas bukan pekerjaan menyenangkan. Jadi aku lebih memilih untuk bertugas mengecek rumah kami bersama Nadya.

Rumah yang kami maksud adalah pohon kersen di lapangan. Sebenarnya ada lima pohon kersen di sini. Tapi hanya satu yang punya dahan yang gemuk dan tidak terlalu tinggi. Itulah rumah kami. Pengecekan dilakukan untuk berjaga-jaga siapa tahu sedang musim ulat bulu. Atau siapa tahu ada dahan yang patah. Setelah itu kami berkumpul di bawah pohon dan hom pim pa atau cap cip cup untuk menentukan siapa yang memanjat lebih dulu. Hanya saja, siapa pun yang menang, Ijul selalu jadi orang pertama yang memanjat. Anak tengil itu pandai sekali memanjat. Seperti anak monyet yang lihai. Walaupun kesal tidak bisa memanjat seperti Ijul, aku selalu kagum dengan caranya berpindah dari dahan ke dahan. Dengan sekejap bisa langsung berada di puncak. Wah!

Aku mendongak, memandang ke atas pohon. Ijul jadi terlihat kecil sekali. Wajahnya terhalang daun-daun dan ranting. Ijul melambaikan tangan memberi isyarat untuk naik. Aku orang kedua yang memanjat. Kemudian Nadya, disusul Pipi dan Lidya. Della selalu jadi yang terakhir memanjat dan mendapat dahan paling rendah. Baiknya begitu. Kalau sampai Ibu tahu Della ikut memanjat terlalu tinggi bisa gawat. Kami menempati dahan yang berbeda. Ijul ada di dahan paling atas. Aku berada persis di bawahnya bersama Nadya di samping dahanku. Lalu Pipi dan Lidya yang bersebelahan di bawah dahanku. Della di dahan pertama yang paling pendek. Kami menyebut dahan kami sebagai kamar. Penghuni rumah bebas untuk berpindah kamar. Jika ingin pindah kamar, cukup mengetuk batang pohon dan mengucapkan permisi.

"Jul, jul! Mana sini botolnya!"

Nadya berdiri di atas dahanya sambil berpegangan ke batang dan ranting gemuk di dekatnya. tangan kananya berusaha menggapai botol yang Ijul julurkan dari atas.

"Juuul, aku juga!"

Ijul melemparkan botol ke arahku. Terpental mengenai ranting dan jatuh ke tanah. Ijul hanya tertawa tanpa mengucapkan maaf. Aku mengernyitkan dahi dan alis, menatap Ijul kesal. Karena tidak punya botol aku jadi tidak punya tempat untuk menampung buah kersen yang merah-merah. Jadi kumakan langsung saja di tempat. Aku melahap buah yang berwarna kuning, jingga, dan merah. Rasanya manis dan berair. Seketika aku lupa dengan rasa kesalku pada Ijul. Pipi, Lidya, dan  Della juga tampak sibuk memetik buah kersen yang sudah ranum. Terik matahari menerobos daun-daun. Layang-layang bergerak lambat di antara gumpalan awan dan langit biru. Angin berhembus lebih kencang di atas sini. Orang-orang terlihat seperti kurcaci. Bapak bilang manusia terlalu kecil untuk merasa besar.

Tapi diatas dahan pohon kersen aku merasa besar.

Besaaar sekali.

Semesta LembutWhere stories live. Discover now