20. Janji untuk tak menangis

3.7K 271 55
                                    

Hidup selalu tentang pilihan.
Tokoh utama dalam cerita belum tentu menjadi tokoh utama dalam berbagi rasa.
Kisah yang dirajut sejak lama belum tentu menemukan akhir bahagia.

Terkadang, pilihan-pilihan untuk menempati peran menjadi siapa dan menemukan akhir yang bagaimana, perlu pemahaman dua kepala, kesepakatan dua hati; yang sama berjuang, yang memilih pilihan yang sama.
Bukan berat sebelah.
Bukan antara menang dan kalah.

☔☔☔

Sudah hampir satu jam Raina menunggu kedatangan Angkasa ke rumahnya. Angkasa berjanji padanya akan mengajaknya pergi malam ini, namun sampai detik sekarang Angkasa belum juga datang.

Terselip rasa kecewa di hati Raina. Perempuan akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengurung dirinya.

Di dalam kamar, Raina mencoba menghubungi Angkasa, namun panggilannya tak terjawab. Ia mengulangnya beberapa kali, namun hasilnya tetap sama.

"Angkasa ke mana, sih?" Gerutunya kesal sembari melempar ponselnya ke atas kasur.

Pandangan Raina jatuh pada sebuah gelang yang menghiasi lengannya. Gelang yang pernah Angkasa berikan sebagai tanda kepemilikan. Mengingat itu membuat Raina terbawa perasaan. Rasa kecewanya bercampur dengan rasa sakit, karena pada saat itu Raina harus berjuang sendirian untuk mendapatkan Angkasa. Dan, untuk saat ini, apakah akan terulang kembali? Apakah selama ini hanya Raina yang berjuang mempertahankan?

"Sa, udah sejauh ini. Aku udah coba buat gak berpikiran macam-macam tentang kamu. Tapi aku gak bisa," Raina menarik napas panjang, lalu mengembuskannya.

"Sikap kamu yang buat aku ragu. Aku ragu kalau hubungan kita bisa terus bertahan. Dari awal aku sadar, di sini aku tokoh utamanya. Dan, seharusnya aku juga bisa jadi peran utama di hati kamu, Sa. Tapi sampai saat ini, aku gak pernah benar-benar bisa menangin hati kamu."

Sebelum cairan bening itu merembes jatuh, Raina buru-buru mengusapnya. Ia tak ingin sampai kembali menangis. Sudah cukup. Raina tak sanggup lagi.

Raina menghela napas untuk menenangkan dirinya. Lalu, ia meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada seseorang. Di pesan tersebut, Raina meminta sebuah pertemuan. Bagaimana pun, Raina butuh tempat cerita. Ia juga manusia yang punya rasa lelah. Perasaannya tak bisa setangguh karang.

****

Di satu sisi, Angkasa yang sedang berada di meja makan, ia tengah sibuk menyantap makanannya dan melupakan janjinya kepada kekasihnya—Raina. Raut wajahnya tampak begitu tenang tanpa ada merasa bersalah. Pasalnya, Angkasa bukan sedang makan di rumahnya, melainkan di sebuah rumah yang berada di seberangnya.

"Angkasa, kamu di kampus gimana?"

Angkasa mendongakkan kepalanya, "Baik, Om. Cuma untuk sekarang lagi sibuk cari bahan untuk materi akhir."

Laki-laki paruh baya di seberangnya tampak mengangguk kecil, "Embun sering cerita sama saya tentang kamu—"

"Ayah!" Sentak Embun yang merasa kesal karena Ayahnya membongkar salah satu rahasianya.

Angkasa menanggapinya dengan terkekeh kecil.

"Katanya kamu itu kalau di kampus galak. Tapi, Saya gak yakin. Kamu tau kenapa? Karena pas cerita tentang kamu, Embun itu senyum-senyum terus." Ucap Ayah Embun semakin menjadi-jadi. Ia sengaja mengerjai putrinya yang kini terlihat jelas rona merah di wajahnya.

"Saya gak galak kok, Om. Mungkin Fra aja yang takut sama saya." Jawab Angkasa, yang menyebut Embun dengan nama belakangnya— Embun Fraurora.

"Bohong! Kamu kalau di kampus jutek banget. Terus omongan kamu itu pedas!" Timpal Embun tak mau kalah.

Rainangkasa #2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang