22. Pertengkaran

3.4K 233 25
                                    

Selayaknya hujan,
Ia jatuh tanpa pernah mengeluh.
Selayaknya hujan,
Airmatanya masih setia luruh.
Selayaknya hujan,
Ia adalah bagian yang harus dijatuhkan.

Selayaknya hujan, angkasa tak pernah mengutarakan maaf setelah menjatuhkannya.

☔☔☔

Angkasa merasa terkunci ketika pandangannya bertemu dengan Raina. Perempuan itu tengah menatapnya lekat tanpa mengucapkan apa pun setelah penuturan darinya yang terdengar begitu putus asa.

Ada perasaan cemas yang kini menghinggapi Angkasa. Bahkan dalam hatinya, Angkasa tak henti-henti merutuki dirinya sendiri. Angkasa juga berharap Raina akan buka suara, karena untuk kali ini ia tak menyukai Raina yang diam.

Padahal, Angkasa sudah bertaruh dengan dirinya bahwa Raina akan memarahinya habis-habisan, atau yang lebih parah sampai menamparnya. Namun, pada kenyataannya Raina tetap geming. Keheningan di antara mereka seolah menjadi tamparan untuk Angkasa.

Raina berhasil. Tanpa harus bersusah payah bersuara atau buang-buang tenaga, cukup diam saja dan Angkasa sudah kelabakan.

"Ra, plis jangan diam kayak gini." Ucap Angkasa seraya menggenggam kedua tangan Raina.

"Aku mau pulang." Akhirnya setelah menunggu cukup lama, Raina buka suara juga. Perasaan Angkasa sedikit lega.

"Tapi gak sama kamu. Sama Ray."

Perasaan yang mulanya sudah lega, kini kembali tak tenang. Angkasa semakin menggenggam erat tangan Raina.

"Pulang sama gue, Ra." Ucapnya.

Raina menggeleng, "Nggak. Aku gak mau pulang sama kamu. Aku mau sama Ray."

"Ra, dia gak baik—"

"Emang kamu merasa diri kamu udah baik? Coba sebelum ngomong, kamu lihat diri kamu sendiri kayak gimana?!"

Genggaman di tangan Raina lepas. Angkasa merasa tak terima ketika Raina lebih membela laki-laki lain ketimbang dirinya.

"Oke, Ra. Gue tau lo marah sama gue, tapi kenapa harus Ray yang jadi pelampiasan lo? Ngapain juga lo pulang bareng dia?!" Suara Angkasa meninggi. Namun, laki-laki itu masih berusaha mengontrol emosinya.

"Emangnya aku gak boleh pulang bareng temen aku?" Balas Raina.

"Teman? Sejak kapan lo sama dia temenan, Ra? Gue gak tau tuh kalau lo sama dia ternyata temenan. Kalau lo emang marah sama gue, bicarain baik-baik. Lo bukan anak kecil lagi, Ra, yang harus gue bujuk buat cerita. Gak seharusnya di saat kayak gini, lo malah mau pergi sama cowok lain. Itu sama aja lari dari masalah, Ra. Lo seharus—"

"SETOP, ANGKASA!" Raina berteriak kencang di hadapan Angkasa. Bahunya naik turun menahan amarah dan rasa sesak di dadanya.

"Seharusnya aku gini, seharusnya aku gitu. Seharusnya, seharusnya, seharusnya!" Ucapnya kencang, "Kenapa cuma aku yang seharusnya jadi ini, jadi itu? Kenapa kamu sendiri gak sadar sama kesalahan kamu?! Kalau kamu emang gak niat minta maaf, yaudah gak usah minta maaf. Aku gak minta itu kok. Sikap aku emang kayak anak kecil, tapi gak seharusnya kamu bentak aku!"

"Aku pulang bareng Ray bukan sama dia doang! Kamu gak mau dengerin aku dulu. Kamu sibuk nyalahin aku. Satu sisi kamu bilang maaf, tapi satu sisi lagi kamu malah semakin nyakitin aku, Sa." Raina mengusap sudut matanya yang berair.

"Lisa juga pulang bareng aku. Ray cuma mau nganter aku sama Lisa ke rumah Fajar. Kalau kamu lupa, sahabat kamu itu ulang tahun!"

Raina memalingkan wajahnya sembari mengusap airmatanya yang jatuh. Padahal ia sudah berusaha sejak pagi tadi untuk tidak kembali menangis, namun Angkasa selalu berhasil membuat airmatanya jatuh.

Rainangkasa #2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang