4. SENIN BERSEJARAH

1.8K 144 20
                                    

“Iya gak apa-apa kok San, lagian emang aku yang salah. Oh iya, tadi aku buru-buru karena mau ngasih ini ke kamu.” Icha memberikan beberapa lembar kertas. “Maaf, ya, kemaren aku telat buatnya.”

Arsan mengambil kertas itu dan melihatnya sekilas. “Iya gak apa-apa kok. Ini acaranya beneran mau minggu depan?”

“Iya, soalnya kita udah kelas tiga, harus fokus sama ujian, tapi kamu setuju, gak?”

Arsan menghela napasnya. Banyak sekali kenangan saat dia menjabat menjadi ketua rohis dan sekarang mereka harus mencari calon ketua dan wakil ketua untuk tetap menjalankan ekskul ini.

“Arsan?”

Arsan tersadar dari lamunannya. Satu hal lagi yang membuatnya berat karena satu persoalan, yaitu tentang perasaan. Dari pertama kali kenal Icha, dia sudah sangat kagum dengan gadis itu. Arsan menggeleng cepat.

“Arsan kamu baik-baik aja, kan?”

“Eh— Iya Ca, aku baik-baik aja. Ya udah aku ke kelas dulu, ya, makasih udah buat ini.”

“Itu udah tugas dan tanggung jawab aku, San. Pertanyaan aku tadi belum kamu jawab loh.”

Arsan menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Yang mana?”

“Soal kamu setuju atau enggak? Kalo kamu udah setuju biar aku gampang nyuruh anggota lain untuk nempel ini di mading.”

“Nanti pulang sekolah kita rapat sebentar, bisa, kan? Aku bakal kasih tau setuju atau enggaknya sekalian ada yang mau aku sampein ke seluruh anggota rohis tahun ini.”

“Tapi ... Anak-anak yang lain belum dikasih tau,” kata Icha dengan nada khawatir.

“Soal itu, ya.” Arsan berpikir sejenak. “Nanti tinggal kasih tau di grup.”

“Tapi kalo ada yang gak punya kuota terus gak liat hp gimana, San?”

Arsan menggaruk-garuk kepalanya. Memang wakilnya ini banyak tanya tapi dia suka. “Astaghfirullahaladzim,” batinnya. Arsen membuang jauh-jauh pikiran tidak penting itu. “Gini aja, nanti pas sholat dhuha aku kasih tau sama anggota ikhwan dan kamu kasih tau anggota akhwat, beres, kan?”

“Maaf ya, San, kalo aku banyak tanya.”

“Santai aja Ca. Aku duluan, ya, Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

👬

Arsen memasuki kelasnya yang begitu riuh. Salsa segera menghampiri pacarnya itu dan memeluk lengan kekar milik Arsen.

“Ya ampun Arsen, aku kangen tau,” tutur Salsa dengan wajah diimut-imutkan.

Arsen melepaskan tangannya dari pelukan Salsa.

“Sayang kamu kenapa? Kamu gak kangen apa sama aku? Mana kemaren kita gak jalan gara-gara kamu ada acara keluarga.”

“Salsa, kamu bisa diem dulu, gak? Aku lagi pusing sekarang,” tanya Arsen masih baik-baik.

“Kamu tu ya, ada maunya baru ngajak jalan giliran aku yang ngajak kamu selalu ada alasan. Kapan kamu prioritasin aku?”

Kepala Arsen rasanya ingin pecah. Inilah kekurangan Salsa dibalik wajah cantiknya. Gadis itu suka menuntut banyak hal dari Arsen.

“Arsen ngode udah bosen tu, Sa,” teriak Rizki yang duduk di bangku paling pojok.

Arsen memberikan tatapan mematikan kepada makhluk itu sehingga Rizki mendadak diam tak bersuara.

Bel masuk berbunyi.

Arsen melenggang melewati Salsa yang tengah manyun. Dia melempar tasnya tepat mengenai wajah Rizki.

ARSAN ARSEN [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt