8. Pacar Paus

4K 321 14
                                    


Jam menunjukan pukul pulang sekolah. Bel pun sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu namun sebagian para siswa-siswi penganut agama islam memilih menjalankan ibadah sholat ashar di sekolah. Begitu juga Pluto. Cewek itu kini sedang memakai sepatu di teras masjid. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang tergerai karena gerah.

Drrtt

Ponsel Pluto bergetar tanda pesan masuk. Dia tidak membuka pesannya sama sekali dan berdiri untuk segera pulang. Tak lupa ia kembali memasang earphone yang ia lepas saat sholat tadi. Dia tidak begitu suka keramaian di sekitarnya, itu sebabnya ia tidak bisa lepas dari benda berkabel itu.

Saat melewati lapangan basket, suara teriakkan samar membuatnya berhenti. Dia melepas earphonenya seraya berbalik, tapi justru dia merasa dikejutkan. Bahkan rasanya ia lupa cara bernapas. Di tengah keramaian lapang, bagai gerakkan slow motion Devan menubruk tubuh Pluto.

Ralat! Tapi, Devan menghambur ke pelukan Pluto. Ralat! Devan memeluk Pluto begitu erat. Sulit terdefinisikan sekarang. Yang pasti, kini mereka jadi pusat perhatian orang-orang karena posisi pelukan mereka di depan umum.

Pluto yang baru sadar dari keterkejutan hanya bisa menjambak rambut Devan kencang. Tidak sampai di situ, tangan Pluto terangkat menjewer telinga Devan geram.

"Ahk! Aduh!" pekik Devan tertahan.

Bukan rasa takut yang timbul, cowok petakilan itu malah menampilkan cengiran lebarnya ditatap tajam oleh Pluto. Devan sedikit meringis karena jeweran Pluto semakin melintir.

"Ampun, To!" pekik Devan.

Pluto tidak suka nama itu, dia semakin melotot tajam dan berseru geram, "Nama gue Pluto!"

"Iya, kata siapa Anto?"

Pluto mendengkus geram. Tidak mau mengambil resiko darah tinggi, Pluto melepas jeweran itu yang dengan segera Devan usap-usap bekasnya. Pluto mengibas-ngibas seragamnya seolah pelukan Devan penuh kuman.

"Gak punya sopan santun, ya?" desis Pluto, menahan kegeraman atas perlakuan Devan barusan.

"Punya, tadi kelepasan," balas Devan polos.

Pluto berdecih sinis. Mau kelepasan, tidak sengaja, atau sengaja pun Pluto tetap tidak suka itu.

"Tapi, meluk lo nyaman juga, hihihi." Tawa Devan seketika disusul tendangan di area tulang keringnya, membuatnya kembali mengerang karena sakit.

"Lo cewek atau preman sih, To?!"

"Jangan panggil gue To!" sentak Pluto.

"Elah, bagus tau nama panggilan gue To. Dari pada Plu, udah kayak nama penyakit kalo abis keujanan."

Melihat wajah Pluto yang kembali geram, memberi Devan tanda peringatan untuk melindungi telinga dan tulang keringnya. Segera ia menunjukan selembar kertas di depan wajah merah padam Pluto.

Seketika Pluto terdiam, menatap selembar kertas itu. Matanya sedikit menyipit agar tulisan amburadul itu lebih jelas. Itu kertas jawaban ulangan harian Biologi. Pluto mengalihkan tatapannya dari kertas ke wajah Devan yang memasang senyum tengil.

"Keren, 'kan?" tanyanya percaya diri seraya menaik turunkan alisnya.

Pluto lagi-lagi berdecih. Keren katanya? Pluto melepas dekapan dadanya kemudian menatap Devan datar.

"Keren? Dengkul lo keren!" ujarnya seraya membalik dan pergi meninggalkan Devan yang masih berseri-seri.

Devan tidak akan diam, cowok itu mengejar Pluto dan dengan mudahnya menjajarkan langkah mereka.

Hei, PLUTO! Where stories live. Discover now