22

9.9K 1.5K 510
                                    

Ia menatap kedua tangannya yang bergetar, matanya yang nanar tetap tidak menjatuhkan sebulir air matapun.

Entah hatinya yang kuat atau dia memaksakan diri untuk kuat, aku tidak tahu.

Aku hanya mengusap pelan bahu itu, hingga Jeno kembali menatapku.







"Dan aku takut dia mati Teh."

-o-


Kasus kematian pada penderita Skizofernia memang tidak sedikit. Baik dari mereka yang mati karna terbengkalai dijalanan, ataupun karna penyakit yang menggerogotinya karna faktor usia.

Tapi tak jarang juga kasus penderita Skizofernia yang tewas saat menjalani pengobatan medis.

Setidaknya itu yang aku ketahui.

Kini aku menatap wajah damai Renjun. Pikiranku kalut, bahkan beberapa kali aku membuka layar ponsel mencari artikel seberapa besarnya resiko kematian karna Skizofernia.

"Tidur Kha." Suara halus dari Jungwoo mengagetkanku. Aku menoleh kearahnya yang di belakangku, ia sedang duduk disofa panjang. Lain halnya dengan Jeno yang kini terlelap di kasur Lipat.

"Dia udah gapapa, sekarang waktunya lu tidur." Perintah Jungwoo, tapi seolah merasa linglung aku hanya menatapnya lalu kembali bermain ponsel.

"Lu masih cari artikel itu?"

Aku mengangguk, Jungwoo mendesah keras. "Jangan terlalu dipikirin Kha."

"Tapi.." Jungwoo memotong ucapanku. "Tapi Dokter Taeil juga bilang kalo ini karna penyebab dia yang ganti metode terapi."

Aku terdiam. Menaruh ponselku diantara kaki.

"Kha, kasus pasien Skizofernia yang meninggal pas kejang itu karna mereka pake pengobatan Kejut Insulin. Itu metode 1950an dan nggak dipakai lagi dimanapun."

Jungwoo paham bahwa aku butuh penjelasan, dan tidak bisa mempercayai apapun. Aku mengigit bibirku lagi.

Sedikit bingung dengan diri sendiri, mengapa aku sekhawatir ini padanya? Padahal aku hanyalah orang yang dititipi. Lalu mengapa rasanya aku sangat takut kehilangannya jika sebenarnya aku dan Renjun bukanlah siapa-siapa?

Jungwoo menghampiriku, ia berlutut di depanku agar sejajar denganku. "Hari ini memang dia kejangnya menunjukan tanda berlebih. Tapi percaya, ini nggak akan lama dan Renjun bakal baik-baik aja." Tatapnya, meyakinkanku.

Aku mengulum bibirku, menelan salivaku. Tenggorokanku rasanya tercekat sehingga tidak bisa menghasilkan suara apapun. Aku hanya mengangguk sebagai tanda paham.

Jungwoo tersenyum manis, ia merapihkan poni yang menghalangi pandanganku. "Liat, poni Lu udah nutupin mata. Udah waktunya lu ke salon lagi." Katanya, mengajakku bercanda.

Aku hanya tertawa kecil, membuat Jungwoo menunjukkan gigi kelincinya. Ia mengusap surai hitam panjangku dengan perlahan.

"Udah ya Kha, sekarang waktunya istirahat. Karna menjadi Rumah buat seseorang juga butuh tenaga."

-o-

Aku mendengar suara gaduh, seperti hentakkan barang beberapa kali. Mataku mengerjap, membiasakan bias cahaya yang terlihat masih gelap masuk pada pandanganku. Hingga kulihat sosok Jeno yang berlari keluar dari Kamar.

Perasaan tidak enak membuatku Reflek menoleh kearah tempat tidur Renjun. Jungwoo disitu, ia menahan kedua tangan Renjun tapi dapat kulihat dari hentakkan kaki kurus itu yang melayang-layang dan terjatuh dengan keras.

Noona! ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang