9. Tatapan Mata

42.6K 5K 45
                                    

Lolita mendesah di dalam kamarnya. Ramai lagi. Ruang main kakaknya hanya sepi selama dua hari. Di hari ketiga, padahal Andra belum pulang, Tigor dan Wayan tengah tertawa bersama entah melakukan apa.

"Loliittaaaaa."

Mendengar teriakan Wayan, Lolita mendengus kesal. Serba salah. Mau marah, tapi Wayan terlalu baik untuk disemprot oleh emosinya. Menutup hasil hitung penelitiannya, Lolita beranjak dari meja belajar dan keluar kamar.

"Teh tawar pake es?" tanya Lolita tanpa tedeng aling-aling, saat gadis itu sudah berada di ruang main sang kakak.

Wayan tersenyum hingga wajah Bali kulit Manado itu tampak lebih tampan dari biasanya. "Bli bawa tas  buat Loli." Menyodorkan satu kantung plastik, Wayan melanjutkan, "Teman Bli yang di pura, sedang rintis usaha kerajinan. Salah satu produknya ini. Bli beli saat pembukaan butiknya, buat Loli."

Lolita bergumam "oh," sesaat. Lalu tersenyum dan menerima pemberian Wayan malam ini. Lolita mengucapkan terima kasih dan tak basa basi menawarkan minuman saat netra gadis itu menangkap teko plastik berisi es sirup. Pasti bunda yang seduh.

Langkah Lolita yang hendak kembali ke kamar terhenti saat mendengar suara pagar terbuka. Menoleh pada jendela, Lolita mendapati Hestama berajalan menuju pintu rumah. Selang beberapa saat, Hestama yang menenteng kantung berisi titipan bunda, sudah berdiri di ambang pintu ruang main Andra. Lolita dan Hestama saling tatap, entah berapa lama. Yang jelas, detik-detik itu terasa membekukan waktu dan tubuh Hestama.

Hestama rindu Lolita. Detak jarum jam dinding mampu menangkap sorot mata itu jelas. Pun angin yang berembus, mendengar teriakan suara hati Hesta yang mengatakan ... Lolita cantik malam ini. Namun gadis pujaannya, sedang marah. Ia tak boleh memancing keributan dan menyulut bara api dalam diri Lolita. Kata Khairul, wanita tak bisa menahan gejolak emosi lama-lama. Hestama harus mempelajari satu hal itu dan mengamati Lolita dari jauh.

"Abang ... mau antar pesanan Bunda." Hestama membuka percakapan.

Lolita mengerjap saat sadar ia hampir saja hanyut dalam tatapan dalam pria yang ia benci. Mengangguk, Lolila tantas mempersilakan Hesta menemui bunda di belakang sedang ia kembali ke kamar dengan dalih mengerjakan skripsi. Sampai kamar dan menutup pintu, Lolita menyandarkan tubuhnya pada helaian kayu itu. Mulutnya mengembuskan napas panjang. Tadi ... ia menatap Hestama cukup lama. Dan entah mengapa, ada rasa bersalah yang merangsek ke dalam hatinya. Ia tak boleh tutup mata. Seperti Tigor dan Wayan, Hestama pun baik pada keluarganya. Bahkan, pria itu seperti teman Andra yang paling disayang bunda. Bagaimana tidak, anggaran belanja bunda tiga puluh persen lebih hemat jika dibelanjakan oleh Hestama di koperasi karyawan tempat pria itu bekerja.

Menggelengkan kepala agar tersadar, Lolita kembali ke meja belajarnya. Angka-angka kuisioner yang ia sebar di puskesmas beberapa waktu lalu, sukses membuat ia lupa pada apapun. Konsentrasi Lolita berkutat pada angka dan rumus agar mendapatkan hasil penelitian. Metode kuantitatif yang ia pilih untuk riset skripsinya ini, membuatnya harus jeli agar hasil hitung tidak meleset. Bisa bahaya saat sidang nanti.

Saat tubuh Lolita sudah terasa kaku dan tegang, ia berhenti bermain dengan angka di laptopnya, lalu meregangkan badan, Lolita tersadar saat ini sudah hampir jam dua belas malam. Wah, lama juga ia berkutat dengan angka-angka itu.

Ah, hampir jam dua belas! Saatnya mengaktifkan ponsel yang sejak tadi ia matikan dan isi baterai. Flash sale Shopee sebentar lagi. Bolehlah, refreshing sebentar dengan barang potong harga. Saat ponsel sudah hidup, Lolita terpaku mendapat pesan dari Damar.

Aku tadi ke rumah kamu balikin flash disk yang aku pinjam kemarin. Tapi kata Sabeum, kamu sedang tidak bisa diganggu. Aku titipkan flashdisknya ke Sabeum Tama. Terima kasih, Lolita.

Let Me Ki__ You!Where stories live. Discover now