Bagian I - Pertemuan

24 1 1
                                    

Jika dalam kisah dengan orang baru akan diawali dengan sebuah perkenalan, maka kali ini aku akan memulainya hanya dengan kata pertemuan.

Kau tahu mengapa? Karena detik ini aku baru menyadari bahwa, masing-masing dari kita tidak pernah terucap untuk hanya sekadar bertanya

"Siapa namamu?"

Aku tahu siapa kau dari temanku. Kau kenal aku dari temanmu. Hanya itu. Kita hanyalah sebuah kebetulan yang entah mengapa bagiku adalah rencana terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Walau namamu tidak kudengar langsung darimu, meski kedua tangan kita juga tidak saling berjabat. Kau tahu? Sejak bertemu, tawamu sudah membuatku terpikat.

Aku bahkan masih ingat kali pertama aku mendapati betapa memabukkannya senyummu. Ketika kusadari kau mampu memasukkan bola di ring permainan yang menjadi favoritmu. Basket. Dengan kaos olahraga yang melekat sempurna pada tubuh atletis namun terkesan tidak begitu berisi itu. Mungkin bisa kusebut ramping. Kaos berwana biru tua dengan nomor punggung yang sayangnya aku lupa berapa. Layaknya sinar mentari yang saat itu bersinar begitu cerah, kala itu duniaku juga turut merekah.

Mata kecoklatan yang sarat akan kedamaian benar-benar memporak-porandakan perasaan. Dadaku bergemuruh, hatiku luluh, mataku bahkan senantiasa mengekori pergerakanmu. Seolah-olah ia tahu, bahwa pemiliknya tidak ingin melepaskan objek indah itu menjauh. Sejak kecil, aku tidak pernah percaya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagiku, itu hanya kamuflase manusia untuk membenarkan nafsunya saja. Namun rupanya, hari itu aku akan memungut lagi keping pikiranku, menyetujui apa yang orang lain bilang, bahwa tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta. Karena hatiku bahkan sudah luruh ketika detik pertama mata kita beradu saling menyapa.

Suara tawamu bersama beberapa sahabat terdengar seperti alunan instrumental biola. Mendayu-dayu di telinga. Aku terpana, bagaimana bisa melihatmu senang saja, sudah membuat kelam hidupku sirna seketika? Jika mungkin suatu hari ada orang yang bertanya, siapakah orang yang membuatku lupa akan segala sedih dan kecewa yang kupunya? Kini aku punya jawabannya. Kau, orangnya!

Terlalu membahagiakan melihatmu dari kejauhan, membuatku lupa akan realita kehidupan. Aku ini siapa? Perempuan yang bahkan belum pernah menjalin hubungan antara dua manusia atas nama cinta. Aku terlalu takut untuk memulai. Pikiranku selalu berkata, untuk apa seseorang, jika hanya menjadi teman berperang. Hidup sendiri sudah terlalu rumit, lalu mengapa harus ada orang lain yang akan menambah sulit. Hatiku terpenjara pada pikiran itu. Kau tahu, jujur tak mudah bagiku untuk menghadapai kata orang. Ditanya mengapa masih betah menjadi lajang. Ditinggal sendirian oleh teman yang sedang kasmaran. Mendengar tangisan sahabat yang baru putus karena diduakan. Atau bahkan menjadi pundak sekaligus penasehat saat sang pujaan menghilang karena bosan. Sial! Rupanya diriku yang bebal ini bisa juga mengeluh kelelahan. Aku sudah kenyang dengan segala hidangan percintaaan.

Hujan badainya, rintik gerimisnya, pelangi atau mentarinya, dan termasuk sandiwara didalamnya.

Maka dari itu aku sepakat dengan sebuah opini yang bilang, bahwa orang-orang yang tidak mempunyai pasangan sama seperti pelatih yang tidak bermain.

Tapi kini tiba-tiba kau hadir, tanyaku satu. Apakah kedatanganmu akan menjadi takdir di akhir? Atau hanya sebatas mampir?





Yang Tak TersampaikanWhere stories live. Discover now