1. Hujan

6.9K 722 109
                                    

"Beneran ndak mau berangkat?"

Mark merengut menatap mbahnya yang seperti tak termakan usia walaupun sudah hampir tiga seperempat abad terlewati. Sesekali ia melirik hujan yang masih mengguyur jalanan lewat jendela di belakang figure mbahnya dengan desahan napas penuh dilema.

"Tapi ujan, Mbah. Payungnya juga mau dibawa adek kan. Ya masa nanti Mark kehujanan sampai sekolahan? Seragam Mark putih loh, Mbah."

Mbahnya tertawa kecil. Bangkit dari duduknya, wanita yang tak lagi muda itu membawa teko kuningan yang ada di meja untuk kembali diisi dengan air panas. Mengabaikan cucunya yang sudah tinggal dengannya hampir dua tahun itu yang menatapnya dengan tatapan seperti anjing yang baru ditinggal tuannya bekerja.

"Mbah..."

"Kayak anak cewek wae kamu, Mas. Jalan dari perempatan ya mripit mepet ke ruko, toh? Alay tenan jan."

Yang diejek langsung menempeleng sosok yang lebih muda di sampingnya, menghasilkan pekikan dari yang bersangkutan, yang dilanjutkan dengan rengekan berbeda yang mengalun ke telinga si embah. Meski begitu, sosok lansia itu hanya terkekeh. Kemudian menyuruh keduanya untuk segera bersiap saja. Tak peduli akan rengekan Mark dan hentakan kecil pada kakinya yang malah membuatnya semakin terlihat bocah.

"Setahun sekali, Mark. Ndak usah terlihat menderita banget toh. Kalau ujannya deras, naik becak, nanti mbah ganti uange pas pulang. Dah sana berangkat."

Akhirnya bocah kelas dua SMA itu mengangguk asal. Meraih tangan neneknya dan menciumnya. Berpamitan bebarengan dengan sang adik sepupu yang sudah berada di depan pintu sembari membuka payungnya lebar.

"Ayo, Mas. Buruan itu bisnya udah di seberang."

Melangkah pasrah, Mark segera mendekatkan diri dengan adiknya agar tubuhnya ikut terpayungi. Menyeberang jalan pantura sebelum memasuki bis tanggung yang untungnya sedang sepi itu.

Mata Mark menjelajah. Menemukan hanya empat orang yang mengisi bis tersebut, tanpa termasuk sang supir. Beruntung tidak seramai yang ia kira. Hanya satu kakek-kakek di belakang dengan cerutu kosong yang ia pegang, satu ibu-ibu dengan anak kecil di sebeahnya, dan seorang pemuda dengan sweater rajutnya yang terlihat hangat. Mark lalu memilih duduk di dua kursi yang berdempetan. Memilih bagian paling dekat dengan jendela sebab adik sepupunya akan turun terlebih dahulu dibandingkan ia. Sebenarnya, bagi Mark hujan tak terlalu menyebalkan. Hanya saja jika sudah sampai banjir seperti yang terjadi akhir-akhir ini, akhirnya ia harus mengurungkan niatnya memakai sepeda motor Yamaha kesayangannya dan pergi dengan sang adik sepupu, yang juga ditinggalkan di rumah mbahnya, menggunakan bis tanggung antar kota tersebut. Akan tetapi, yang menjadi kekesalannya adalah kenyataan bahwa ia harus berjalan lagi sekitar empat ratus sampai lima ratus lagi untuk mencapai sekolahnya dari perempatan terdekat tempat bis tersebut berhenti, dan sepertinya hujan kali ini cukup awet untuk membuat sepatu converse kesayangannya basah nanti.

Sepanjang jalan, Mark hanya terdiam menatap keluar jendela. Memerhatikan rintik air yang jatuh mengenai permukaan transparan itu sebelum akhirnya menempel sebentar dan jatuh perlahan satu demi satu dan menghasilkan efek domino serupa bulatan air yang semakin menghilang. Sebelum akhirnya sang adik menepuk bahunya, berkata bahwa ia akan turun sebentar lagi dan dibalas dengan okay singkat darinya.

Mata Mark memerhatikan sang adik yang maju ke depan untuk memberikan uang pada sang supir, berkata kiri, lalu turun setelah bisnya berhenti. Mark kembali membuang wajahnya keluar jendela, memandangi beberapa kendaraan roda empat yang melaju tak cepat sebab jalan yang licin, serta beberapa pengendara motor dengan jas hujan yang berkibar.hingga tak lama, titik tujuannya sudah di depan mata, namun sebelum ia sempat berdiri dan maju untuk bilang berhenti, sosok pemuda manis dengan sweater tadi sudah mendahuluinya, menghasilkan senyum cerah di wajah Mark ketika sosok itu turun dan membuka payungnya.

Kakinya segera melangkah. Menyusul di belakang pemuda tadi setelah membayar ongkosnya. Menyejajari pemuda dengan tinggi yang tak terlampau beda darinya dan sedikit masuk dalam payung pemuda itu.

"Kamu mau menumpang?"

Mark berjengit kaget. Kepalanya langsung mengangguk antusias dengan senyum yang ia berikan cuma-cuma. Yang bertanya lalu tertawa kecil. menaikkan sedikit payungya agar Mark dapat masuk ke sana. Lalu dengan sigap, Mark mengambil alih payung tersebut, hitung-hitung sebagai balasan karena ia dibolehkan ikut serta di sana.

"Anak smansa?"

Sosok itu bertanya, yang dijawab dengan pertanyaan balik mengenai bagaimana orang tersebut mengetahui hal tersebut. Lalu sebuah tawa mengalun diantara mereka, "Di seragammu tertulis jelas sih. Lain kali kalau ujan gini, jangan lupa pakai jaket atau apapun, jangan seragam aja. Kedinginan nanti. Kelas juga AC-an kan."

Mark menunduk malu. Ia terlalu bahagia mendapatkan tumpangan dari pemuda manis sampai lupa kalau seragam hari seninnya memiliki logo sekolah yang tertera jelas.

"Hehe...lupa tadi. Ngomong-ngomong, ini searah?"

Yang ditanya mengangguk kecil, lalu membiarkan keheningan mampir sebentar sembari mereka memilih jalan yang bisa dilewati tanpa mengorbankan sepatu keduanya untuk masuk ke genangan air.

"Kamu kelas berapa?"

"Tahun kedua."

Mereka kembali terdiam, merapatkan diri ke ruko yang masih tutup, sebab beberapa orang dari arah berlawanan tak mau mengalah dan berjalan tergesa.

"Heran, padahal ini jalan buat ke arah utara." Mark merutuk. Satu yang ia sebal sejak kembali ke negara kedua orang tuanya, selain trotoar di sini kadang diisi oleh para pedagang kaki lima atau parahnya dijadikan tempat parkir, banyak juga orang yang seenak jidat mengambil jalan yang bukan merupakan jalan mereka.

"Mungkin tujuan mereka di sebelah sini. Positive thinking aja kali."

Pandangan Mark turun. Sejenak heran. Manusia di sebelahnya tampak jauh begitu santai dibandingkan dirinya yang sudah bersungut-sungut sedari tadi pagi. Mungkin ia harus mengikuti vibes pemuda itu. Menikmati hujan yang sudah lama turun dan bersikap santai sedikit terlebih ini masih pagi, moodnya tak boleh hancur di awal hari yang akan berakibat buruk sampai malam nanti.

Sampai akhirnya keduanya tak sadar bahwa mereka terlalu menikmati waktu berjalan berdua hingga mereka sudah sampai di sekolah Mark. Dengan segera, Mark berterimakasih yang dilanjutkan dengan ia berlari masuk sembari meletakkan tasnya di atas kepala seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain yang bergerombolan masuk untuk upacara pagi hari pertama semester baru, hingga mereka melewati pintu gerbang seperti semut yang tengah bergotong royong membawa makanan mereka.

Lalu yang ditinggal hanya menggelengkan kepalanya. Tertawa kecil sebelum menerima sapaan satpam yang berjaga di sana. Tersenyum lalu menyusul murid-muridnya masuk ke dalam sekolah. Sedangkan di sisi lain Mark merutuki dirinya yang tidak mengetahui apapun dari pemuda manis yang berhasil merubah suasana hatinya pagi itu.

– atau mungkin juga merubah perasaannya sekaligus.

– atau mungkin juga merubah perasaannya sekaligus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hukum Ohm [MarkHyuck]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang