5. Reuni

2.5K 394 201
                                    

Mungkin ini pertama kalinya, dari sepanjang cerita yang ada dengan aku yang menahkodai. Dari sepanjang cerita yang ada dengan aku yang akan bercerita bagaimana menyesalnya aku memilih jalan ceritaku sendiri.

Aku menyesali perkataanku kala itu. Perkataan bahwa aku bisa melangkah dan berdiri sendiri dengan kedua kakiku. Bergerak tegap tanpa tergoyah oleh angin kencang yang mendera.  Berdiri gagah seolah sebuah bangunan dengan pondasi yang begitu kokohnya.

Kalau itu aku berkata pada bocah itu, pemuda yang begitu gigih seolah tak peduli akan cibiran yang akan menerpanya suatu saat nanti. Meski begitu, dulu maupun sekarang aku masih saja pengecut, tak seperti dia. Seolah pandangan yang lain menusukku layaknya belati yang ada. Lalu pada masa lalu itu, aku memberikan belatiku padanya.

Segala warna seolah lenyap dari hidupku walau perlahan. Berawal dari percikan-percikan kembang api yang biasa mampir setiap hari di gulitanya hariku, perlahan menghilang seperti tersedot oleh sebuah titik hitam yang entah bersumber dari antah berantah. Kemudian, segalanya benar-benar lenyap.

Ia pindah. Itu yang dikabarkan anak-anak kelasnya mengenai keabsenannya. Setelahnya aku yang seolah tak terima langsung menanyakan pada wali kelas anak itu. Memastikan bahwa yang kudengar hanyalah halusinasi semata. Walau pada akhirnya semuanya begitu nyata.

Hari itu hujan, meskipun musim kemarau sudah menjemput. Langit seolah mengejekku yang tak bisa lagi menikmati silir angin menggelitik sembari banyolan yang terlontar di sepanjang jalan ketika aku diboncenginya. Sepatuku basah. Bercak tanah yang baru saja lembek menempel begitu saja di ujung celanaku yang tak kulipat. Pikirku buat apa? Pun esok akhir pekan sudah datang.

Sepanjang kakiku menapak dan menghasilkan kecepak dari genangan yang ada, kepalaku memikirkan banyak hal. Apa ini karenaku? Apa karena aku berusaha kekeuh pada pendirianku? Pun dia masih tetap tak mencoba menghilangkan godaan langganannya setelah lampau hari. Meski pada akhirnya ia menghilang begitu saja tak meninggalkan satu pesan apapun.

Lalu aku, yang pengecut, mencoba menyakinkan diri bahwa ini tak apa. Ini bukan masalah. Ini hanya sebuag bagian hidup dimana akan ada orang yang datang dan pergi. Mungkin saja kan bocah itu akhirnya sadar bahwa perbedaan diantara mereka terlampau besar sehingga akan sulit untuk memersatukan keduanya.

"Pa?"

Aku menoleh, menunduk, menatap gadis kecil yang tadi sibuk bermain dengan anak Pak Eileen sudah kembali. Aku tersenyum, memosisikan diri untuk berjongkok dan sejajar dengan gadis kecil yang baru masuk taman kanak-kanak itu.

"Sudah selesai mainnya?" Tanyaku dan ia hanya mengangguk. Kemudian lengan kiri kecilnya yang sedari tadi bersembunyi di belakang tubuh itu ditunjukannya. Jemari mungil menggenggam sebuah permen yang sudah begitu lama tidak ku lihat. Permen dengan batang dan ujung berbentuk kaki warna merah.

"Dikasih siapa?"

Tangan kanan yang sedari ada di lututku mulai menunjuk pada arah utara kami. Di lorong, dimana seseorang dengan kacamata bulatnya berdiri di sana dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana. Rambutnya gondrongnya sedikit berkibar, sebab angin sore yang datang tak diundang. Mungkin sedikit menggelitik dan menggigilkan tubuh kurus yang hanya terbalut kaos tipis abu-abu tersebut.

Aku awalnya terdiam. Menatap siapa yang tiba-tiba muncul di depanku setelah sekian tahun aku hanya memerhatikannya sedari jauh. Memerhatikannya sampai aku lupa jikalau hari ini adalah reuni angkatannya yang berarti besar kemungkinan aku akan bertemu dengannya. Dengan bocah yang selalu menghantui malam-malamku sehingga kantung mataku terlihat begitu jelas adanya.

"Pa?"

Satu panggilan lagi yang mampir, membuatku menggeleng kecil. Memegang bahu gadisku sebelum tersenyum meyakinkannya. "Sudah bilang makasih?"

Hukum Ohm [MarkHyuck]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang