Ketigapuluh-lima

4.9K 350 19
                                    

Dengan telaten Dirga memeras handuk kecil yang kemudian ia lapkan di lengan kurus adiknya, hatinya berkedut nyeri ketika melihat ada beberapa luka lebam kebiruan di lengan sang adik yang disebabkan tusukan jarum.

Sementara Liano, anak itu terlihat begitu tenang seakan menikmati kegiatan yang tengah dilakukan kakaknya.

"Ini sakit nggak?". Tanya Dirga menyentuh pelan lebam kebiruan itu, Liano hanya menggeleng sembari memperlihatkan cengirannya.

Dirga terkekeh gemas, rasa syukur selalu Dirga ucapkan ketika melihat anak itu kini sudah tampak membaik pasca percobaan bunuh diri yang dilakukan anak itu beberapa hari lalu yang membuat kalap Ayahnya serta dirinya. Bahkan Om nya, Delon telah menyatakan jika adiknya itu mengalami henti nafas dan jantung untuk beberapa saat.

"Kakak lap wajah kamu ya biar makin ganteng, pelan-pelan kok". Ucap Dirga dibalas anggukan semangat dari adiknya yang kemudian mencondongkan sedikit wajahnya agar Kakaknya itu tidak kesulitan.

Dirga tersenyum, dengan gerakan yang teramat berhati-hati mengelap wajah pucat sang adik takut jika ia akan menyenggol selang pernafasan yang digunakan adiknya.

"Tuhkan kakak bilang apa kamu makin ganteng Dek". Seru Dirga membuat Liano bersemu malu.

"Kakak bohong ya?". Tanya Liano terdengar polos membuat tawa Dirga pecah, Liano mengernyit heran mengapa Kakaknya ini tertawa seperti itu. Dirga yang ditatap seperti itu pun perlahan menghentikan tawanya.

"Beneran Dek, produknya Ayah Dimas mah nggak ada yang gagal, hehe". Ujar Dirga yang tentu saja tak dimengerti Liano yang terlewat polos itu.

"Kak Dirga aneh... Emm Kak kapan ya Lian diijinin pulang?". Tanya Liano

"Sabar ya, kan hari ini jam 1 siang nanti kamu harus kemo yang kedua mungkin habis itu kamu boleh di ijinin pulang deh". Jawab Dirga sembari membereskan wadah stainless berserta handuk kecil yang digunakan untuk membersihkan tubuh adiknya itu kedalam troli yang dibawa Suster Hanita tadi.

"Kak Lian kangen Jeff". Ujar Liano yang seketika menghentikan kegiatan yang Tenga dilakukan Dirga.

Dirga tersenyum "Kemarin-kemarin waktu kamu nggak mau bangun-bangun Jeff ke sini lho jengukin kamu nggak cuma Jeff temen-temen kelasmu juga kesini". Jelas Dirga membuat kedua mata Liano membulat ekspresinya tampak terkejut.

"Kakak bohong lagi ya nggak mungkin mereka kesini". Lirihnya

"Ihh nggak percaya, tanya aja Ayah atau Om Delon. Mereka kesini sama wali kelasmu juga, mau do'ain kamu biar cepet sembuh". Ujar Dirga menatap lekat wajah pucat adiknya yang semakin memerah akibat menahan tangisnya.

"Kok nangis sih?". Dirga segera mendekat ke ranjang anak itu merangkul bahu adiknya yang tampak bergetar "Mereka beneran kesini Kakak nggak bohong kan? Bukannya mereka benci Lian ya hiks t-terus kan Lian udah nggak sekolah hiks lagi".

"Kok Lian ngomong kayak gitu, mereka nggak benci sama Lian mungkin belum begitu kenal kamu makanya mereka cuek gitu ke kamu. Buktinya mereka kesini mau do'ain Lian biar cepet sembuh. Dah lah jangan nangis aduh-aduh tuh kan gantengnya luntur ke lap lagi". Ujar Dirga sembari mengusap air mata adiknya.

"Nggak lucu, hehe". Ucap anak itu sembari terkekeh.

"Nggak lucu kok ketawa, ihh gemesss". Ujar Dirga bersiap mencubit kedua pipi adiknya namun tatapan tajam adiknya mengurungkan niatnya.

•••

D

elon tengah memeriksa berkas-berkas hasil pemeriksaan pasien nya dengan serius hingga tak menyadari sosok wanita paruh baya itu masuk ke ruangannya.

"Serius banget sih!". Seru Sania terdengar ketus melihat putranya itu terlalu serius dengan pekerjaannya.

Delon terkejut melihat sang Mama kini berdiri di depan meja kerjanya "Ehh Mama... Duduk Ma". Katanya salah tingkah ia pun meletakan berkas yang tengah diamati nya tadi.

"Kenapa Mama kesini? Nggak biasanya". Tanya Delon yang membuat Sania semakin menatapnya dengan tajam.

"Kamu ini nggak suka Mama kesini ya?".

"Nggak gitu Ma, biasanya kan Mama langsung ke ruangan Liano".

Sania menghela nafas kemudian menatap manik sang putra dengan serius "Mama mau tanya Lon, Liano nggak bisa sembuh dengan cara lain selain kemoterapi?".

Sejenak Delon terdiam "Untuk saat ini hanya kemoterapi yang bisa menghambat sel kanker ditubuh Lian Ma, mengingat stadium nya udah naik ke stadium 3 dan udah nyebar ke paru-paru itu udah semakin sulit". Jelas Delon yang membuat hati Sania seperti diremas kencang tak lama wanita itu menangis hebat.

Delon kalut dengan segera ia memeluk sang Mama berusaha menyalurkan ketengan untuk Mamanya "Ja jadi vonis itu bener? Waktu Lian hanya 3 bulan lagi hiks kenapa dunia nggak adil gini sih Lon, apa salah cucu Mama hiks kenapa harus dia yang dihukum kayak gini hiks hiks". Ucap Sania disela isakannya, Delon hanya mampu terdiam ia membiarkan sang Mama mengutarakan isi hatinya berharap akan membuat Mamanya itu tenang.

"Maafkan Mama Kalia... Maafkan Mamaa hiks". Isak Sania semakin terdengar menyakitkan, hati Delon terasa bergetar ketika nama sang Kakak disebut Sania.

"Ma... Udah ya please jangan kayak gini semua itu udah takdir percaya sama Tuhan kalo semua ini akan ada rencana yang lebih baik dibaliknya. Dan masalah vonis itu nggak usah mama pikirin itu hanya sebuah vonis dokter ingat Ma dokter bukan Tuhan yang bisa nentuin kematian seseorang ". Sania hanya mengangguk lemah mendengar penuturan putranya.

Ceklek!

Atensi keduanya mengarah kepada sosok yang telah membuka pintu wajahnya terlihat gugup karena ia merasa datang diwaktu yang salah.

"M-maaf Dok Maaf Bu... Sepertinya saya mengganggu, sekali lagi saya minta maaf". Ucap Hanita dengan nada menyesal nya bahkan berkali-kali ia bungkukan tubuhnya.

Delon tersenyum kaku, sementara Sania segera mengusap jejak air matanya dan tersenyum hangat pada Hanita.

"Ada apa Sus?". Tanya Delon, Hanita perlahan berjalan masuk kearah keduanya.

"Saya hanya ingin memberikan hasil pemeriksaan pasien di ruang VIP 2 untuk Dokter cek kembali". Ucap Hanita menyodorkan sebuah map coklat pada Delon.

"Oh iya terimakasih".

Wanita itu hanya mengangguk canggung karena dirinya tengah ditatap intens oleh Sania, ia merasa risih sekaligus malu.

"Kamu cantik". Puji Sania membuat perasaan Hanita semakin tak karuan, bahkan pipinya terasa panas ia yakin kini pipinya sudah berwarna merah.

"Makasih Bu". Balas Hanita malu-malu membuat Sania terkekeh bahkan Delon diam-diam menyunggingkan kedua sudut bibirnya.

"Mau jadi menantu saya?". Ucap Sania

Keduanya tampak membeku.






















TBC!

Astagfirullah aku heran sama diriku sendiri kenapa sih nih cerita nggak selesai2 :( padahal udah makin gak jelas banget kan ya:(










Little Hope (END)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang