Chapter 3 - Ranticipation

1.7K 119 9
                                    

Aku pulang ke rumah ketika malam sudah begitu pekat dengan menyisakan jarum jam yang berdetak menyatakan detiknya bekerja. Perkuliahanku sebenarnya sudah selesai sejak siang, tetapi aku sengaja tak segera pulang, sama seperti sebelumnya. Terlebih tadi siang ibu kembali memberondongku dengan puluhan pertanyaannya yang membuatku jengah. Malas rasanya pulang. Rumah sudah bukan seperti rumah yang seharusnya bagiku.

Lagipula definisi rumah itu apa memangnya? Sepertinya tak lebih dari sekadar tempat untuk menyudahi aktivitas serta tujuan yang sudah jelas jalannya. Kukira, dulu definisi rumah bisa jauh lebih hangat dan begitu romantis seperti puisi-puisi sang penyair. Tapi nyatanya, rumah saat ini hanya menyisakan getir yang penuh dengan kebohongan-kebohongan penghuninya.

Berpura segalanya baik di luar, hanya agar tak membuat yang lain khawatir. Berharap tenang dan disambut peluk hangat ketika pulang, nyatanya semua tak peduli karena sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Sedikit rasanya yang mau menyisakan waktu untuk bersama. Semuanya sibuk di dalam kamar, di ruang menonton, atau bahkan di hadapan layar ponsel serta laptop. Berada di atap yang sama, tapi minim komunikasi serta tatap. Miris, bukan?

Lupakan perihal meja makan yang katanya menyatukan. Di rumahku saja, meja makan justru menjadi tempat yang paling kuhindari. Karena di sanalah, perdebatan biasanya bermula. Namun, jika boleh jujur, satu-satunya hal yang masih menyisakan sepercik bahagia ketika kembali ke rumah adalah aromanya.

Buatku, setiap rumah memiliki aromanya masing-masing. Tak bisa didefinisikan dengan bau-bauan yang kita kenal, karena aroma itu berasal dari masa lalu. Dari semua kejadian yang pernah dirasakan, dari semua memori yang masih bersemayam, serta dari semua kehangatan yang pernah hadir saat tangis seorang malaikat kecil membuat ramai begitu saja tercipta.

Pandanganku menyisir sekeliling ruangan seusai menutup pintu ruang tamu. Punggungku bersandar di daun pintu seraya memejamkan mata dan membaui harum kerinduan yang menggenang. Tangan sebelah kiriku memijat tengkuk sambil memutar kepala yang seketika penuh dengan kelebat memori.

Gemuruh langit yang tiba-tiba hadir kembali membuatku tersadar. Bergegas aku menaiki tangga menuju kamar. Terlalu malas jika harus bertemu dengan ibu pada saat-saat seperti ini. Baru saja aku menaruh tas di atas kasur, petir menyambar bersamaan dengan listrik yang kemudian padam.

Gelap seketika memenuhi ruangan. Tak ada sedikit pun cahaya yang tersisa, aku mengerjap beberapa kali mencoba untuk menyesuaikan, tapi nihil. Aku tak bisa dan hanya mampu terpekur di samping ranjang tanpa bergerak sama sekali, bahkan untuk sekadar menghirup napas, rasanya aku tak kuasa. Cukup lama aku terdiam, hingga keringat yang mengalir di kening menggedor kesadaranku.

Dengan tangan yang gemetar, serta napas tersengal, aku meraba-raba kasur mencari ransel. Tergesa merogoh dan mengeluarkan isinya satu persatu untuk mencari zippo yang selalu kubawa. Beruntung, tak perlu waktu lama untuk menemukannya. Setelahnya, segera kunyalakan zippo itu.

Cahaya yang bersumber dari zippo membuat napasku melega. Namun, sedetik sesudahnya, air mataku menggenang. Tangisku pecah begitu saja tanpa ada isakan. Hening dan hanya menyisakan gemuruh petir serta detak jantungku yang belum kembali normal. "Pah, Layung nggak suka gelap. Layung nggak suka kayak gini. Layung benci sama sesak ini, sama kenangannya, sama semuanya, Layung benci, Pah. Papa kenapa ninggalin Layung sih? Layung takut, Pah, takut," lirihku di sela tangisan.

Kenangan demi kenangan tentang masa kecilku yang tak pernah memberi kesan apa-apa akhirnya kembali. Menelusup di sela isak tangis, membawaku kembali pada masa-masa paling kelam yang tak pernah ingin untuk kulalui lagi.

Banyak orang bilang, ingatan masa kecil adalah hal yang paling membahagiakan bagi mereka. Tapi sayangnya untukku, masa kecil tak pernah memiliki kenangan apa-apa, selain pengalamanku dikurung dalam gelapnya kamar mandi. Sesuatu yang tak pernah bisa dibanggakan, apalagi perlu diceritakan oleh banyak orang. Sebulir air mata kembali meleleh di pipiku.

KEKANGWhere stories live. Discover now