Chapter 11 - Unimflate

992 97 4
                                    

Kau tahu, jika burung terus menerus dikurung dalam sangkar,
entah semewah atau senyaman apa pun itu,
kelak ia  juga akan merasa jengah.
Kau tahu itu, kan?

Selalu ada yang ingin bebas, tetapi tak pernah benar-benar ingin terlepas.
Entah karena terbiasa diatur atau terlalu takut tak lagi bisa teratur.
Selalu ada yang mengeluh kosong, namun sebetulnya ia hanya terlalu penuh.
Oleh persepsinya sendiri yang tak ingin sedikit saja dengarkan sekitar.

Menjauh katanya pilihan, nyatanya tak pernah ada di antara dua jawaban.
Lalu di mana sebenarnya tenang berada?
Jika benar adalah milik semua pihak.
Jika benar masih tetap samar dalam warna.

-Layung, pada ketinggian Jakarta menuju Bali-

Aku menutup buku catatan kecil yang selalu kubawa, menghela napas panjang lalu mengempaskan pelan tubuhku pada kursi pesawat. Kubuka sedikit penutup jendela berharap temukan letak kewarasan di luar. Namun sayang, tak ada apa-apa yang tampak selain gelapnya malam.

Aku melihat ke sekeliling, sedikit tersenyum miris karena iri dengan mereka yang bisa tertidur lelap. Kulirik jam di tangan, masih satu jam lagi waktu perjalanan yang tersisa. Aku kembali melemparkan pandangan ke luar, sesekali memejamkan mata berharap kantuk bisa tiba sekarang.

"Masuk! Mama bilang masuk ya masuk, Layung!"

"Tapi, Ma, Layung, takut."

"Makanya jangan bandel, disuruh makan aja maunya nungguin Papa. Padahal Papa kamu nggak tahu kapan pulangnya. Kamu ini ngerepotin banget. Cepet sana masuk! Mama hitung sampai tiga ya. Satu...dua..."

"Mah, tapi di sini dingin."

"Mah, jangan dimatiin."

"Mah, Layung mau sama Papa aja."

"Mah, maafin Layung. Mah, bukain, Mah, tolong."

"Mama, Layung takut."

Aku membuka mata cepat, gelagapan menatap sekitar. Mimpi itu kembali lagi dan kini berkali lebih menakutkan dari biasanya. Degup jantungku berdetak kencang serta genggamanku mengerat di kursi pesawat. Aku melihat sekeliling sambil berusaha menghirup udara sebanyak yang kubisa. Dengan tangan bergetar, kucoba mengambil air minum yang berada di depanku. Lalu berusaha meneguknya untuk meredakan kepanikan yang melanda.

"Cuma mimpi, cuma mimpi, itu cuma mimpi, Layung. Cuma mimpi..." aku menggumamkannya pelan dan berulang. Berusaha mensugestikan diriku sendiri agar bisa sedikit lebih tenang. Aku masih meremas jemariku yang berkeringat ketika terdengar suara pemberitahuan untuk mengencangkan sabuk pengaman.

Aku menoleh ke luar dan mendapati lampu-lampu mulai terlihat bertaburan, membuat napasku berangsur teratur. Air mata mengalir tanpa permisi, mengisyaratkan bahwa luka itu memang tidak benar-benar sembuh. Sampai sekarang, masih ada banyak hal yang tersisa dari semua jejak menyakitkan yang kuterima saat kanak-kanak.

Sebenarnya, inilah yang menjadi salah satu penyebab aku kerap terjaga hingga matahari terbit. Aku benci bila harus terus memimpikan hal yang sama berulang-ulang. Mimpi-mimpi menyebalkan yang selalu menghantuiku dengan rasa yang sama meski sudah cukup lama berselang. Kejadian itu, entah sampai kapan masih akan tetap terkenang dan membuatku tak pernah betah berdua dengan ibu.

Aku memegang kening yang terbalut perban, memutar ulang kejadian yang tadi sempat berlalu. Ada sedikit rasa malu yang hadir, tapi kalah dengan ego yang memuncak. Pernah merasa terlalu sombong menentang kata orang tua, menyangkalnya apa yang mereka ucapkan akan terjadi, tapi waktu berlalu dan yang mereka katakan benar adanya? Ya, itu yang kurasa saat ini.

KEKANGWhere stories live. Discover now