Chapter 12 - Defuted

860 88 5
                                    

Apa yang lebih menyenangkan dari berjalan seorang diri di tempat yang sama sekali asing? Kota ini berhasil menghilangkan rasa khawatirku untuk bertemu orang-orang yang kukenal. Berhasil membuatku tak perlu pusing untuk menjelaskan apa dan kenapa bila tiba-tiba saja berpapasan. Karena ya, aku tidak hidup di sini, maka tentu saja tidak ada yang mengenaliku.

Aku menghirup napas dalam-dalam, mengeratkan jaket sembari tersenyum memandangi lalu-lalang pejalan kaki yang asyik bercengkrama. Kubelokkan langkahku menuju salah satu pantai yang cukup terkenal di sekitar hotelku. Mencoba mencari tempat yang nyaman untuk sebentar saja melonggarkan isi kepala.

"Gila, lebih ramai daripada pasar, deh, ini tempat. Bikin makin sakit kepala doang," rutukku sambil keluar dari La Plancha. Aku tak pernah suka sepi, tapi tak juga bisa berada di tengah keramaian yang begitu padat. Itu juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa kemarin aku sempat pingsan di tengah demonstrasi.

Waktu itu, aku ingat betul sedang asyik memotret keriuhan yang terjadi tanpa menghiraukan sekitar. Aku bahkan baru menyadari sekelilingku sudah terlalu bising, ketika namaku diteriakkan berulang dan badanku sudah ditabrak dari beberapa penjuru. Rasanya kebingungan, semuanya mendadak kacau balau bukan hanya di mata. Orang-orang berlarian sambil saling serang dan membuatku hanya sanggup mematung.

Hingga sebuah suara yang menyerukan namaku terdengar kian jelas, dan mendapati Kak Purba sudah melambai ke arahku. Sebuah kelegaan perlahan merayap kala itu, tapi sayang, kesenanganku itu membuatku lupa untuk menghindari lemparan batu yang melayang. Luka di kening membuatku langsung kehilangan keseimbangan dan menjadikan semuanya mendadak kabur.

Aku memijat pelan pangkal hidung mengingat kejadian itu. Seraya menyandarkan diri pada dinding di pinggir jalan, kukeluarkan zippo dari saku atas jaket. Penat di kepala membuatku segera membakar ujung rokok yang sudah menggantung di bibir.

Kusesap nikotinnya perlahan, membiarkan beberapa persen zatnya masuk ke dalam rongga dada. Mengoyak bahkan menghancurkan semuanya jika perlu. Sekali, dua kali hembusan berhasil. Aku tersenyum melihat jariku yang mengapit rokok. Jika ibu tahu tentang ini, sudah pasti nilaiku di matanya semakin jauh dari kata baik.

Sial! Pikiran tentang ibu membuat percobaanku untuk melepas penat dengan rokok menjadi gagal lagi. Aku terbatuk, padahal belum ada setengahnya habis terbakar. Lekas kubuang rokok itu lalu menggilasnya dengan penuh emosi, seolah menyalurkan semua kekesalan di sana. Sudah seperti jagoan bau kencur di film-film yang ingin dibilang keren, bukan? Tapi apa yang aku rasakan sekarang jauh dari kata keren itu.

Aku melirik sekilas pada jam tangan, mungkin sebaiknya aku kembali ke hotel. Mengistirahatkan isi kepala dengan kesunyian, sambil memutar lagu untuk menemani kesendirian.

"Lho, Kak Layung? Kak Layung, kan?!" seorang perempuan dari tengah gerombolan muda-mudi yang tengah asyik tertawa menghampiri dan menyapaku.

Mataku memicing menatapnya. "Eh...Widya??" Aku menatap Widya—sepupuku—kaget. Tuhan, mengapa Bali jadi terasa semakin sempit saja? gumamku dalam hati. Padahal baru tadi aku bahagia karena tak menemui siapa-siapa. Namun sekarang aku justru bertemu dengan saudaraku yang tinggal di sini. Sial sekali.

"Iya, Kak, ini aku Widya. Masa udah lupa sih? Hehehe. Eh, Kakak kok ada di sini?" tanyanya lagi.

"Iya nih, hmm lagi jalan-jalan aja. Hehe."

"Sendirian aja? Sama Mamanya Kakak juga? Kok nggak bilang-bilang, sih? Ayok nginep di rumah, ayah-ibu pasti senang tahu Kakak ada di Bali."

Aku menelan air liur mendengar ucapannya lagi. Benar-benar gagal sudah pelarianku untuk menghindar dari orang-orang yang kukenal. Mengapa bisa aku lupa bahwa saudara ayah tinggal di sini. Terus-terusan aku menggerutu dalam hati, sembari mengusap tengkuk dan menatap Widya kikuk.

"Hmmm, iya besok rencananya baru mau ke tempatmu. Anyway, nggak usah bilang sama om-tante dulu ya, Wid. Soalnya, soalnya, tadi tuh ceritanya mau ngasih kejutan gitu." Elakku dengan alasan yang begitu saja terlintas di kepala

Widya tertawa, sepertinya percaya dengan apa yang barusan kukatakan. "Oalah, siap kalau gitu. Ini mau ke mana? Bareng aku sama temen-temen aja, gimana?" tanyanya sambil melihat teman-temannya meminta persetujuan.

"Eh, nggak usah, Wid, nggak usah. Lagian hotelku deket kok dari sini, ini juga mau langsung istirahat. Masih lumayan capek juga soalnya baru sampai. Tadi iseng nyari makan doang."

Widya mengangguk paham, "Hmmm, yaudah oke deh kalau gitu, besok ditunggu di rumah, Kak!"

Kini giliranku yang mengangguk sambil mengangkat tangan, menatap Widya yang berjalan kembali pada teman-temannya. Aku menghela napas lega, satu kebohongan lagi berhasil kucetak hari ini. Ya Tuhan, seorang Layung semakin lihai berbohong nampaknya. Aku menggeleng sambil melanjutkan langkah kembali ke hotel.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang