02- Hopeless

11 1 0
                                    

Mau bagaimanapun Enby menyukai musim panas. Mau bagaimanapun Enby membeci dinginnya udara di musim dingin, tetapi tetap saja yang berhasil meluluh lantahkan kedinginan di hidup Enby adalah Kim Won-Shik.

Dia bagian dari musim dingin yang beku, kaku, dan tenang. Monoton. Seakan semuanya monokrom.

Enby selalu berpikir, seperti apa hidupnya jika Won-Shik benar-benar akan menjadi suaminya nanti? Seberapa kerasnya Enby berpikir, seberapa besarnya rasa penasaran Enby, dia yakin. Demi apapun yang ada di bumi, ia sangat yakin, bahwa dia akan jadi gadis paling beruntung dan bahagia.

Terlebih ketika tadi di parkiran, dia mendengar segerombolan murid yang mengatakan, sangat beruntung gadis yang bisa mendapatkan Won-Shik. Secara tidak langsung, mereka mengatakan Enby, bukan?

Enby tersenyum dalam lamunannya. Betapa senangnya dia sekarang yang telah menjadi tunangan pemuda yang di ulung-ulungkan semua perempuan di sekolah maupun di kampus.

“Kapan kita menikah?” cetus Enby menatap punggung Won-Shik yang sibuk dengan buku super tebal yang memabukkan bagi Enby.

“Kapan kita menikah?” tanya Enby lagi, ketika melihat Won-Shik masih sibuk dengan buku kedokterannya di meja belajar.

“Kamu mabuk?” Won-Shik melirik Enby sekilas sebelum kembali menghiraukan gadis yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan sekarang memberantakan kasurnya.

Enby terkekeh kecil. “Yang benar saja. Mana ada orang mabuk di siang bolong begini? Lagian aku bakalan di omelin Daniel atau Ibu.”

“Jadi kapan kita menikah?”

Won-Shik memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri dengan pertanyaan super tolol dari Enby.

“Kamu dengar tidak?” desak Enby yang kini sudah berdiri di sebelah meja belajar Won-Shik. “Won-Shik-ah, dengar tidak? Kapan kita menikah?”

“SUNNY ZELENEBI!” sentak Won-Shik yang membuat Enby mengerjap diam di tempatnya.

Ia terkesiap ketika Won-Shik membentaknya. Apa salah dia menanyakan, kapan mereka menikah? Bukannya pertundangan ada untuk menikah? Lalu kenapa Won-Shik marah?

Sementara Won-Shik takjub dengan pertanyaan Enby yang mampu membuatnya habis kesabaran yang telah di tahannya sejak tadi. Dari gadis itu datang dan masuk ke kamarnya tanpa permisi, mengoceh tidak jelas, merengek untuk dibuatkan makan siang, dan berbagai lainnya hingga pertanyaan bodoh itu meluncur lancar dari bibir merah alami yang di miliki Enby. Won-Shik menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi belajarnya dan menoleh pada Enby yang menunduk memainkan jemarinya.

“Selesaikan sekolah kamu dulu.” Won-Shik meraih buku yang tadi di bacanya. Berniat untuk kembali melanjutkan kegiatan membacanya.

“Kemana cincin kamu?” tanya Enby yang tidak melihat cincin tunangan yang biasanya melingkar di jari manis Won-Shik. Yang warnanya sama persis seperti bandul kalung perak yang melingkar indah di lehernya.

Won-Shik menghela napas lalu meraih laci meja belajarnya. Mengeluarkan kotak beludru biru, kemudian membukanya dan mengambil cincin tersebut untuk di pakainya kembali.

“Kenapa di masukin ke sana? Kamu tidak mau memakainya?” cerca Enby yang memperhatikan setiap gerak-gerik Won-Shik.

Won-Shik menghela napas pelan. Dia tahu bahwa Enby pasti akan merajuk padanya. “Bukan begitu.”

“Terus kenapa?”

“Aku ada pertandingan tadi pagi. Kamu mau cincinya patah?”

Enby mengangguk mengerti. Dia ingat kalau Caitlin tadi bilang bahwa Won-Shik ada lomba basket. “Benar juga.” Enby tersenyum dan mencium pipi Won-Shik cepat. “Kamu yang paling mengerti.”

Summer In DecemberUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum