Janji Dari Hati #1

294 9 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
______________________________________________

A Novel Islami

Tiga Tahun Kala Itu
#1

Assalamu'alaikum
Ukhty wa akhy
Selamat
Membaca

©Yayadiba

>>>>>¤<<<<<

Tidak mudah untuk bangkit setelah kehilangan. Mencoba melupakan tanpa bantuan orang baru dalam kehidupan. Meniti hari dalam sepi, juga sakit hati yang tak kunjung pergi.

Tidak ada yang indah setelah perpisahan. Percayalah denganku, semuanya berubah. Dirimu akan dipaksa untuk terbiasa dengan kesendirian.

Andai saja aku bisa mengulang waktu, aku akan memilih untuk tidak pernah mengenalmu. Pertemuan tiga tahun kala itu, bisakah ku anggap sebagai kesalahan dari skenario tuhan?

Aku masih ingat, saat itu angin berembus begitu kecang. Aku yang saat itu sedang di atas motor, meresapi dinginnya malam, sesekali sampai menggigil. Di depanku seorang lelaki fokus mengendarai sepeda motor, kupikir dia tidak terlalu merasakan dingin. Nampaknya malam itu akan turun hujan, karena langit begitu hitam dan bintang pun enggan bermunculan. Aku mencoba mencari kehangatan dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangan. Tapi percuma saja, dingin tetap membekukan perasaan.

"Mai!"

Perhatianku teralihkan setelah mendengar lelaki yang ada di depan ku ini bersuara. Aku mencondongkan badan ke depan untuk mengetahui apa yang akan ia bicarakan.

"Dingin, ya?"

Berdusta juga percuma, sarat sekali respon tubuhku yang menggigil karena rendahnya suhu kala ini. Aku mengangguk membenarkan.

"Kalau dingin peluk aja. Nggak apa-apa, kok."

Aku terdiam, otakku berusaha men-translet kalimat yang barusan saja kudengar. Apa aku salah dengar, atau dia yang salah bicara? Ah, aku harus menepis pemikiran ini.

"Jangan!"

Aku menolak. Bagaimanapun juga aku sadar kalau lelaki ini tidak lebih dari sekadar teman dan juga tetangga depan rumah. Lalu atas dasar apa aku memeluknya?

"Beneran nggak apa-apa, deh. Peluk aja!"

Kalimat itu terdengar lagi. Ah, kurasa otakku mulai tidak waras. Keadaan sudah sangat mendukung, tapi aku tetap lah aku, tidak pernah ada dalam sejarah hidupku memeluk lawan jenis yang bukan mahram seperti ini.

Aku hanya tersenyum menanggapi. Merasa tidak dihiraukan lelaki itu pun berhenti menggangguku.

Besok merupakan hari kepergiannya, melanjutkan pendidikan ke Kairo. Dan malam ini semacam malam perpisahan. Namun baru kali ini kami pernah dalam posisi sedekat ini, di atas sebuah motor. Rasanya aneh, kuharap saat-saat seperti ini jantungku masih bisa diajak berkompromi.

"Mai, boleh pinjam tangannya?"

Aku menatap tangannya yang telentang di udara. Aku paham, sangat paham. Pasti dia berharap agar tanganku mengisi celah jemarinya. Saling bertaut erat agar tidak ada sekat. Lalu aku mengulurkan tangan, mengikuti apa yang ia praktikkan, yaitu telentang di udara.

Dia tertawa melihat tingkahku yang seakan tidak mengerti. Tangan yang saling telentang di udara, bukan bertangkupan seperti yang diharapkan.

"Bukan seperti itu, Maira." Aku tertawa mendengar keluhnya. Padahal aku hanya sedang mengajaknya bercanda.

Dasar aku, bisa-bisanya tersipu malu saat-saat seperti ini. Entah setan apa yang hadir di antara kami. Telapak tanganku pun berbalik, menyatukan antara jemariku dengan jemarinya. Saling mengisi ruas-ruas jemari, menggenggam erat hingga tidak lagi bersekat.

Rasanya hangat. Hatiku pun turut menghangat. Cukup lama kami dalam keadaan demikian, saling genggam semacam tidak ingin terpisah. Beruntung jalanan hanya diterangi lampu yang tamaram, hingga dia tidak tahu bahwa aku sudah memerah di belakang sini. Ya ampun, Maira.

Aku merasa tanganku diangkat ke atas seiring dengan pergerakan pada tangannya. Dia menggenggam tanganku lebih erat, "Andai kita dijodohkan Allah, bagaimana?"

Bukannya kehabisan kata-kata, aku hanya tidak menyangka saja kalau dia akan bertanya seperti itu. Entah untuk hal serius, atau hanya sebuah lelucon. Ingin hati menanggapi, tapi takut jika termakan bualan lelaki.

Aku tersenyum miring, "Jangan lupa, masih keluarga."

"Benar juga." Tertawa hambar. Perlahan genggaman erat pun melonggar, hingga jemarinya meninggalkan zona nyaman, membiarkan ruas-ruas kembali kosong. Aku tersenyum miris memerhatikan telapak tanganku yang sudah dilepasnya.

Setelahnya tidak ada lagi pembahasan yang menjurus kepada aku atau dia, yang ada hanya cerita tentang temannya semasa di pesantren. Aku juga tidak bisa fokus lagi mendengarkan ceritanya, cukup mengangguk, tertawa, atau sekadar mengiyakan. Kecanggungan benar-benar terasa, sampai cerita tentang temannya itu selesai.

"Kamu suka surah Ar-Rahman, kan?"

Aku mengangguki pertanyaannya. Kemudian suara yang merdu pun membelai pendengaran, lantunan surah Ar-Rahman ia bacakan untukku malam ini. Untukku? Hanya untukku, ah... aku mulai berbesar hati.

Entah untuk apa ia membacakan surah itu. Mungkin karena ia tidak bisa melantunkan surah itu untukku di depan para saksi, hanya bisa saat ini, seperti ini saja. Tidak lebih.

Entahlah, antara bahagia sekaligus duka. Dibungkus dalam satu cerita, kisah kita yang masih terikat keluarga. Ia, kita terikat keluarga meski sudah agak jauh. Tapi tetap saja, aku takut jika sampai ada yang tahu tentang kita. Cukup kita, dan tuhan.

Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami pun sampai. Tapi, dia tidak berani mengantarku ke depan rumah. Berhenti di depan mini market, lalu turun dari atas motor, karena kebetulan kami memakai motorku.

"Aku turun di sini, Mai, nanti dijemput Fajar."

Aku balas mengangguk. Kemudian ia mendekat, lalu tangannya terulur menyentuh sudut mata kiriku. Menyekanya dengan ibu jari sambil tersenyum.

"Makasih, ya!" ucapnya, sangat manis. Jangan meleleh Maira, kumohon.

Tapi perasaan aku tidak menangis, mengapa dia melakukan hal demikian? Ah, rasanya atmosfer semakin berkurang.

"Maira pulang duluan, ya!"

Setelah berpamitan aku kembali menjalankan motor. Menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dingin yang kurasakan menguap begitu saja. Sekarang berganti panas, hingga pipiku memerah. Ish, mengapa semudah itu Maira.

"MAIRAAA!!!"

"Astaghfirullah."

.
.
.
.
.

Kotabaru,
15 April 2020

Terimakasih
sudah membaca cerita
Janji Dari Hati

Vote

Comment

Saran

Next

Janji Dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang