Janji Dari Hati #3

102 7 4
                                    

Jawab Yang Dinanti
#1

Jika mulut tidak kuasa untuk berucap,
maka tulisan mampu menjabarkan
hal yang tidak terlihat.

©Yayadiba

>>>>>®<<<<<

Kataku, tidak semua pertemuan itu menyenangkan. Ada kalanya bertemu namun tidak untuk mengenal. Ada yang mengenal tapi tidak untuk dekat. Ada yang dekat namun tidak untuk tetap.

Sekali lagi aku tegaskan, tidak semua pertemuan itu menyenangkan. Ada kalanya bertemu harus dipersiapkan untuk berpisah. Namun, ada satu pertemuan yang sakitnya sudah terasa di awal, yaitu bertemu dengan masa lalu.

Bagaimana bisa tidak merasa sakit bertemu dengan dia yang ada di masa lalu? Terlebih kenangan yang diberi adalah sebuah luka. Saat pertemuan itu tiba, luka yang tertinggal pun akan kembali menganga.

Bertemu dengan masa lalu merupakan sebuah harap. Tapi tidak ku sangka akan semenyakitkan ini. Dia yang memberi harap namun meninggalkan tanpa sesal dan maaf.

Yang kutahu, diriku tidaklah dianggap.

***

Mengawali pagi dengan penuh rasa syukur, begitulah caraku menyemangati diri sendiri. Datang lebih awal ke kampus, lalu duduk sambil bertadabur tentang ayat yang sudah dihapal subuh lalu. Mengawali hari dengan kalam ilahi merupakan kenikmatan tersendiri, dan sudah menjadi hobi.

Satu demi satu mahasiswa yang ikut kelas hari ini mulai berdatangan. Beberapa ku perhatikan untuk melihat siapa yang datang. Lama setelahnya, kelas pun mulai penuh. Tinggal hitungan menit lagi kelas akan dimulai, namun aku tak kunjung melihat Fidza. Tumben sekali.

Pintu kelas kembali terbuka menunjukan sosok yang berwibawa dengan tas laptop di tangan kirinya. Kelas pun hening, seolah
terhiptonis akan kedatangannya. Semua terkesima dengan sosok yang sudah berdiri di depan kelas, tepatnya di balik meja dosen.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh." Salamnya memecah keheningan, dijawab serempak oleh para mahasiswa dengan semangat, kecuali aku. Aku menjawab salamnya hanya dari hati.

Sengaja aku memfokuskan mata pada sebuah pulpen yang tergeletak di atas meja. Pengin melihat ke depan, tapi hati tak kuasa. Tahu siapa yag berdiri di depan sana?

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Haris Khairullah, Lc., MA. sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Arab VI di semester ini. Saya...."

Benar. Ternyata benar apa yang kulihat kemarin, mataku tidak salah, itu bukanlah halusinasi. Apa kalian masih ingat kejadian di depan pusat perbelanjaan tempo hari? Sosok yang membuat air mataku hampir tumpah di depan umum, dialah orangnya.

Sosok ayah yang sempat aku kagumi karena kelembutan hatinya. Beruntung setan berhasil menyingkap tabirnya. Hati yang terlihat lembut dari luar, ternyata begitu keras saat disentuh. Dengan tega dia tidak menyapaku sepatah katapun, apalagi menjelaskan sebuah permasalahan, jangan harap.

"Sekarang giliran saya yang mengenal kalian, saya panggil satu-satu, ya!" ucapnya lagi sambil menggenggam sebuah daftar hadir.

Aku tidak menyimak proses perkenalan yang dimaksud. Kertas mulus di depanku lebih menarik untuk menuangkan rasa sesak di atasnya. Tinta hitam mulai menodai putihnya. Menari indah, mengukir kata demi kata membentuk sebuah kalimat yang mewakili rasa sesak.

Benar kata orang, jika mulut tidak kuasa untuk berucap, maka tulisan mampu menjabarkan hal yang tidak terlihat. Melalui tulisan pula orang bisa menjadi paham, dan kelebihan sebuah tulisan ia bisa dibaca ulang.

Aku tersenyum puas melihat karyaku di atas selembar kertas. Benar-benar mewakili hati yang sedang panas.

Tuk! tuk!

Refleks aku menutup kertas dengan kamus bahasa arab lalu menoleh ke belakang. Ternyata temanku yang ada di belakang menggoyang tempat dudukku. Belum sempat dia berucap, dosen Haris yang ada di depan kembali berbicara. Entah sebelumnya ia berbicara apa.

"Yang mana orangnya? Apa tidak hadir?" Aku diam mendengarkan, tidak tahu pembicaraan sudah sampai di mana. Aku juga tidak tahu siapa yang dimaksud oleh si dosen, apa mungkin Fidza?

Aku merasa banyak mata yang memandang ke arahku. Seakan ada hal yang janggal. Aku tidak mengerti, diam mungkin pilihan yang terbaik.

"Humaira Fathinnah?"

Aku tersentak, tegang dan menatap ke depan. Ternyata giliran aku, entah sudah berapa kali namaku dipanggil. Aku mengacungkan tangan tanpa suara, kembali mata kami bertemu. Dan sialnya dia malah menghampiri, tidak seperti kemarin yang diam tanpa sepatah kata.

"Nama panggilannya?" tanyanya sambil berjalan menghampiri tempat dudukku.

Aku berpikir sejenak, "Humaira, Pak."

"Asal dari mana?"

Seharusnya aku sudah biasa mendengar pertanyaan demikian dari seorang dosen, tapi entah mengapa aku merasa aneh saat hal itu ditanyakan oleh seorang Haris. "Martapura, Pak."

"Di sini tinggal sama keluarga, atau bagaimana?"

Sebenarnya aku tidak pengin ber-su'udzon, tapi entah mengapa pertanyaannya tidak terdengar seperti pertanyaan dari dosen ke mahasiswanya, mungkin karena aku yang terlalu perasa. Sudah lah, "Ada rumah orang tua dekat sini, Pak."

"Ooh, baik. Maira, ya?" tanyanya santai.

Cepat kau menjawab, "Bukan, Pak, tapi Humaira."

Bohong sekali kan jika dia lupa? Jelas-jelas dia masih ingat namaku yang kerab kali disapa Maira. Tapi, sudah lah. Lelaki beristri dan sudah punya anak tidak pantas untukmu Maira. Masih banyak di luar sana laki-laki mapan dan masih lajang. Bersabar lah, Allah masih menyiapkan kisah yang luar biasa untukmu.

.
.
.
.
.

Kotabaru,
29 April 2020

Terimakasih
sudah membaca cerita
Janji Dari Hati

Salam sayang untuk
Voters

Support

Comment

Next

Janji Dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang