Janji Dari Hati #4

84 4 3
                                    

Jawab Yang Dinanti
#2

Dia pergi dengan memberi banyak
pertanyaan, namun datang
tidak dengan jawaban

©Yayadiba

>>>>><<<<<

Hari ini merupakan mata kuliah terakhir dalam seminggu. Biasanya jika sudah tidak ada kuliah seperti ini aku akan mengunjungi ayah dan ibu. Tapi rasanya kali ini aku merasa enggan untuk pulang. Semacam ada rasa yang tidak mengizinkanku untuk ke sana. Mungkin akhir pekan di kost sambil guling-guling lebih menarik. Aku tersenyum samar mendengar pemikiran jahat itu. Walau sebenarnya bukan kost, tapi jika sendirian tetap saja berasa kost.

Oh iya, aku belum mendapat kabar dari Fidza. Kadang jika anak itu tidak kuliah tanpa kabar, tidak lain pasti lah sakit. Aku mengetik sesuatu di layar ponsel sambil menuju tempat parkir.

Humaira :
Dza, kok gak masuk, sakit apaan?

Hafidza :
Ehee, lupa ngasih kabar.
Tifus mai, ini aku lagi pulkam.

Setelah mendoakan agar penyakitnya lekas sembuh, aku pun sampai di tempat parkir. Dengan gesit aku memakai helm lengkap dengan kliknya. Menaati peraturan lebih mudah daripada berurusan di kantor polisi, kan?

Sepeda motorku mulai melaju menuju kost tercinta. Butuh waktu 10 menit antara kampus dengan kost. Tapi ingat, itu waktu jika jalanan normal tanpa macet. Kebetulan ini masih pukul sebelas mendekati dua belas, tentu lah jalanan masih normal.

Matahari hampir tepat di atas kepala, aku semakin melajukan sepeda motor di tengah keramaian kota. Semakin motorku melaju, semakin aku merasa ada yang tidak beres. Setang motorku terasa bergoyang, semacam oleng saat dikendarai. Lama-kelamaan motorku semakin terasa berat saat dijalankan. Aku pun menghidupkan lampu sein untuk berhenti di samping jalan.

Aku berjongkok memeriksa ban depan. Astaghfirullah, ternyata benar bannya kempes. Dan kabar buruknya lagi, ban belakang juga kempes.

Rasanya pengin nangis di tempat. Fidza sakit, lalu aku harus minta tolong sama siapa? Ah, sepertinya Tuhan sudah merestui agar aku tidak pulang ke rumah dulu minggu ini. Tapi mengapa harus dengan cobaan begini?

Aku celingak-celinguk mencari bengkel terdekat, semacam mencari itik di kandang angsa. You know lah, ini pusat kota, yang ada hanya gedung-gedung di sana-sini.

Di seberang jalan ada indomaret, sempat berpikir untuk istirahat di sana dulu sambil mencari bantuan. Entah kenapa mataku menangkap toko baby shop yang tepat di samping indomaret tersebut. Mungkin karena sosok ikhwan yang berdiri di depan toko itu. Ku urungkan niat untuk menyeberang, rasanya masih enggan untuk berpapasan dengannya.

Aku berbalik, lalu duduk di atas motor sambil membelakangi jalan. Lebih tepatnya membelakangi Haris agar ia tidak melihat keberadaanku. Malu juga, mau dikantongin ke mana mukaku jika sampai ketahuan aku terdampar di pinggir jalan seperti ini.

Aku men-scroll kontak yang ada di ponsel, barang kali ada orang yang bisa dimintai tolong. Ya Allah, matahari sudah tepat di atas kepala. Tidak mungkin aku terus berdiam di sini.

Kalau harus mendorong motor... jangan Humaira. Apa harus tetap dibawa jalan? Tapi aku masih ingat pesan Bang Hasan waktu di rumah, kalau ban sepeda kempes tapi dipaksakan untuk jalan yang ada bannya tambah rusak, dan bayarnya tambah mahal. Aku bergidik membayangkan uang jajan yang bakal dipotong gara-gara bayar bengkel untuk mengganti ban sama jerujinya. Ya Allah, malang sekali nasib hamba-Mu ini.

Janji Dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang