prolog | a few months later

46.6K 2.4K 86
                                    




prolog | a few months later



Nggak akan berhasil.

Kecuali Ian memaksakan diri, sampai Raline menjerit kesakitan.

Tapi Raline cukup tahu, bahwa pria yang sedang bersamanya ini tidak sebrengsek itu. Jika dia sendiri merasa tidak nyaman, sudah pasti dia tahu bahwa Raline merasa jauh lebih tidak nyaman lagi.

"You'll get hurt. Let's just stop."

Benar saja. Setelah berkata demikian, sang pria segera melepaskan diri, berhenti mencoba sama sekali. Lekas bangkit dari tempat tidur, mengambil dan mengenakan bathrobe yang tersampir di kursi, mengoper bathrobe milik Raline, kemudian berjalan keluar kamar.

Well ... shit. Raline telah mengacau lagi.

Padahal, hanya beberapa saat lalu, mereka seperti sedang mereka-ulang adegan di film-film erotis. Raline—yang nggak pernah terpikir memiliki anak—bahkan merasa perlakuan sang pria seolah sanggup membuatnya hamil dalam sekejap.

It's crazy how, for a split second, the mind wanders and all the lust just disappears like it never existed.

Sial. Sadar harus memperbaiki situasi awkward ini, Raline segera berpakaian dan menyusul keluar.

Beruntung, sang pria hanya pergi ke dapur, sedang menuang wine ke satu gelas—dan bukannya masuk ke ruang kerja, berlagak sibuk dan tak bisa diganggu.

Melihat gelas yang sudah terisi itu dibiarkan menganggur di meja, Raline pun mengambil alih dan menyesap isinya sedikit.

Saat Raline ganti menawarkan diri untuk menuangkan wine baginya ke gelas lain, sang pria hanya bergeming.

Cih. Dasar pendendam!

"You humiliated me." Ian berujar. Tenang tapi menusuk kuping.

Iya, memang tadi Raline yang minta. Raline juga yang lebih dulu hilang selera—di saat Ian bahkan belum mendapatkan apa-apa.

Nggak adil memang. Tapi berani sumpah, Raline bukannya tidak berusaha.

Siapa juga yang akan menolak menghabiskan malam yang panas sampai pagi?

Tapi, yang namanya hasrat kan nggak selalu bisa dimunculkan dan dihilangkan sesuka hati. Lalu, kalau sudah terlanjur hilang, Raline harus bagaimana?

"Kamu pikir aku sengaja?" Raline berdecak, agak kesal karena malam ini sepertinya Ian sulit diajak berkomunikasi dengan kepala dingin. "Nggak mungkin lah, Yan. Aku juga nggak pengen ada masalah di antara kita. Aku maunya kita baik-baik terus. Seenggaknya kalau di luar ada sesuatu, kita selalu baik-baik aja di rumah, termasuk di ranjang. Masa iya, aku sengaja nge-blank dan nggak fokus? Nggak lah. Baru juga orgasm satu kali. Rugi amat."

Melihat tidak ada perubahan ekspresi pada pria di hadapannya, Raline segera mingkem. Sadar kalau sedari tadi ia menyerocos, sepertinya belum ada kata maaf yang keluar.

Tapi, sorry to say, emang Raline kudu minta maaf, ya?

"Kamu juga jangan drama, dong. There are still other ways. I can use my hands. Or my mouth. Don't be childish. It's just sex. We do it almost every day anyway."

Sayangnya, solusi yang Raline tawarkan sama sekali tidak membuat sang pria bereaksi.

"You know that's not the point." Alih-alih membaik suasana hatinya, dengan wajah masih sama kaku, Ian mengambil gelas wine bekas Raline yang hanya berkurang sedikit isinya itu. Lalu berlalu ke ruang tengah dan menyalakan televisi.

Sepeninggal Ian, Raline mengacak mukanya sendiri, mendesah sebal.

Damn it. Agaknya dia sudah salah pilih suami.

He is nothing but a boy dressed up as a grown ass man.

Bersungut-sungut, Raline balik kanan, masuk kembali ke kamar.

Terserah kalau pria yang sedang bengong di ruang tengah itu mau begadang sampai pagi. Raline tidak peduli. Dia harus tidur sekarang kalau nggak mau bangun kesiangan besok pagi.

Tapi, dengan wangi Christian menempel pada bantal dan selimut yang dia gunakan, sungguh sulit baginya untuk memejamkan mata. Selama puluhan menit, dia hanya bisa membolak-balikkan badan dengan gusar, tanpa sedikit pun bisa terlelap.

"Brengsek!" Raline mengumpat, sekaligus ingin menangis.

Di saat yang bersamaan, pintu kamar mengayun terbuka.

Ian berdiri di ambangnya. Menatap ke arahnya.

Raline meneguk ludah.

Damn, he's so hot.

And tall.

And smells like sex.

Jujur saja, selain Ian, Raline belum pernah bertemu pria lain dengan physical features yang sanggup membuatnya turn on tanpa flirting. Bahkan setelah bertengkar seperti ini saja, sepertinya Raline tidak akan menolak jika didekati.

"Udah selesai refleksinya?" Ian bertanya.

Dengan enggan, Raline mengangguk. "Udah. Kamu?"

Suaminya itu balas mengangguk.

"Then ... are we good?" Raline memastikan untuk terakhir kali.

Kembali Ian mengangguk. Mantap. "We are good."

Satu sudut bibir Raline terangkat naik tatkala melihat sang pria berjalan mendekat.

God, how can a man be so sexually attractive and yet so irritating at the same time?



... to be continued

Seru apa tydaaaa???

Mission 21+Where stories live. Discover now