Rafa menjerit-jerit, sesekali terdengar nama Kalea.Dia menggelepar dengan kedua tangan diborgol ke pagar kasur. Gwen menahannya, menyenter satu persatu matanya lalu menekan Rafa perlahan kembali bersandar. Menempelkan punggung tangan ke keningnya yang berkeringat.
"Respons bagus, suhu tubuh normal. Kau tak apa, Cakep, adrenalinmu tinggi karena SN-81."
"Siapa kau?!" teriak Rafa.
"Nanti kita kenalan," balasnya. "Tarik napas dalam."
Zzp! Kalea muncul di tengah klinik, bergegas ke Rafa. Salah fokus padanya yang memakai kaos putih membentuk otot perut serta lengan kokohnya. Dia mengerjap. "Siapa yang memborgolnya?!"
Gwen dan Arda menunjuk satu sama lain. Gwen pun melotot. "Eh, borgol itu idemu!"
"Iya, tapi kau yang memasang borgolnya!"
Rafa mulai tenang. Dia memejam menenangkan deru napas, mengikuti arahan Gwen. Degup jantungnya memelan, dia pun sadar penuh, memperhatikan Gwen menyerahkan kuncinya ke Kalea.
"Hai," sapa Rafa. "Maaf sempat tak mengenalimu, Gwen."
"Biarkan aku remas ototmu, baru kumaafkan."
"Gwen!" tukas Kalea, geli.
Gwen cengengesan, mengangkat tangan memohon ampun. Kemudian melangkah keluar klinik, menarik Arda bersamannya. Dia masih tersenyum ketika menutup pintu. Tinggalah Kalea dan Rafa dalam keheningan aneh.
"Jadi, kau suka main dengan borgol?" Rafa tersenyum nakal.
Kalea mencubit pinggangnya sampai ia mencicit. Tanpa berpikir, melepaskan kedua borgolnya. Lalu diam memperhatikan pundaknya yang dibalut perban, tersambung ke luka di dada. Menatap wajah itu yang bersemu kemerahan. Tak percaya dua jam lalu Rafa pucat tak bernapas di pangkuannya. Dia bergantian melirik mata dan dada Rafa yang kembang kempis, memastikannya sungguhan hidup.
Rafa tersenyum tipis. Merasa lega sekaligus tak pantas karena ia hidup dari nyawa yang Kalea bagi. "Berhenti melihatku begitu, aku tak apa."
"Ya, aku tau," balasnya, masih cemas.
"Kenakan itu." Rafa menunjuk stateskop di meja kemudian duduk. Meski bingung, Kalea memakai stateskopnya di luar kerudung. Rafa pun nyengir meledek. "Harus kena telingamu."
"Ck, aku bukan Gwen." Dia menyisipkan eartips ke telinga. "Untuk apa sih?"
Rafa mengambil kepala stateskop, meletakkannya di dada kiri. Matanya tak lepas dari gadis itu. "Apa yang kau dengar?"
"Umm... detak jantungmu." Kalea terlihat lebih tenang. "Terdengar normal."
Dia mengangguk. "Aku tak apa. Kau menyelamatkanku meski aku tak pantas diberi nyawa kedua. Lalu... terima kasih, bukan hanya untuk serum ajaibnya tapi karena kau menculikku. Terima kasih membawaku ke duniamu, membiarkanku mengenalmu." Lalu ia mengerutkan kening. "Kenapa aku mengatakan semua itu?"
Kalea duduk di tepi kasur. "Kurasa serumnya memabukkan."
"Sepertimu."
Kalea tak mengerti harus membalas apa. Mengingat semua yang terjadi bersama Rafa membuat gejolak aneh meninggi di aliran darahnya. Ada rasa lain menggelitik ujung-ujung jemarinya. Dia pun menekan pikiran sebelum terlanjur jauh.
Ini bukan waktu tepat untuk memusingkan perasaannya.
"Di rumah hantu ini ada dapur, 'kan?" Dengan bugar Rafa turun dari kasur. "Aku lapar."
***
Meja makan tak pernah seberantakan ini.
Kantung tepung dan kulit telur berserakan, ditambah tepung membuat meja berubah putih. Rafa mengaduk adonan di mangkuk sambil terus meledek dekorasi dapur ini. Kitchen set kayu tua disinari lampu antik, membuatnya seperti memasak di film thriller.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARDA - The Series
Action(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi rahasia untuk menangani kasus ini. Seiring ia mendalaminya terkuaklah berbagai fakta dan kejadian di...