3. Cinta yang Membekas

27.6K 2.3K 47
                                    


(Jogja, Sekarang) 

Aku melangkahkan kakiku perlahan memasuki gedung perkantoran yang mulai hari ini menjadi tempat kerjaku. Meskipun awalnya enggan meninggalkan kota Jakarta, meninggalkan kantor pusat dan berakhir di kota ini, akhirnya kuputuskan menerimanya dengan lapang dada. Lagipula, para karyawan di sini tampak senang dan antusias dengan kehadiranku. Bahkan sepertinya aku punya sekretaris yang baik hati dan juga periang. Bukan berarti aku menaruh perhatian padanya. Lagipula kudengar dia sudah menikah. Dan itu justru bagus. Karena akan membuatku terhindar dari gosip miring tentang memiliki affair dengan sekretarisku sendiri.

Aku tiba di lantai dua dan mendengar samar suara-suara orang berbincang. Seperti inilah suasana kantor sebelum jam kerja dimulai. Kulangkahkan kakiku menuju ruang kerjaku, sembari tersenyum pada karyawan-karyawati yang tampak mengangguk hormat padaku.

Mataku menangkap kehadiran Lina, sekretarisku sedang duduk di tepian meja salah satu bilik yang terletak paling luar.

"Lina, bisa tolong ke ruangan segera? Beritahu jadwal saya hari ini..." ucapku tanpa menghentikan langkahku.

"Eh, iya, Pak. Siap!" gelagapan Lina menjawab, melompat turun dari meja dan berjalan di belakangku.

"Eh, Pak, maaf cangkir teh saya ketinggalan di meja teman..." ucapnya padaku.

"Ya sudah ambil dulu. Bisa sekalian ngeteh di ruangan saya nggak papa, kok..." jawabku.

Kudengar langkah kaki Lina berbalik meninggalkanku. Sementara aku melanjutkan langkahku menuju ruangan.

Masih kudengar suara cempreng Lina samar-samar, berbincang dengan temannya yang tadi dihampirinya.

"Dah, Rima!" suara Lina terdengar nyaring bersamaan dengan langkah kakinya mendekatiku lagi.

Rima? Sebuah nama yang membuatku berhenti melangkah tepat di depan pintuku.

Mendengar nama itu, sekelebat memori di masa lalu menghampiriku. Itu adalah sebuah nama yang lama kurindukan. Tapi, juga adalah sebuah nama sederhana yang cukup sering kudengar. Di kantor ini juga ada yang bernama Rima? Apa dia akan seperti Rima yang kucari selama ini?

"Pak, maaf nungguin..." Lina nyengir padaku, membukakan pintu di hadapanku dan masuk duluan.

Aku berjalan pelan menuju ruanganku yang berada di bagian dalam ruangan yang cukup besar itu. Meletakkan tas kerjaku dan duduk di balik meja.

Lina ikut masuk ke dalam ruanganku, berdiri di hadapanku dan membacakan jadwalku untuk hari ini.

"Jadi, saya harus ngecek proyek jam sepuluh?" tanyaku setelah Lina selesai membacakan semua jadwalku hari ini.

Lina mengangguk.

"Masih lama sih, pak. Tempatnya juga tidak jauh. Eh, bapak mau saya ambilkan kopi?" tawarnya padaku.

Aku menggeleng. "Jadi saat ini tidak ada yang perlu saya kerjakan di sini?" tanyaku padanya

"Ada beberapa berkas yang perlu bapak tanda-tangani. Dan bapak bisa mempelajari terlebih dahulu tentang proyek yang akan bapak cek nanti."

"Oke, bawakan kemari..." pintaku padanya.

Lina melangkahkan kaki lincahnya ke ruangan depan, dan kembali dengan beberapa berkas, yang segera kubaca sepintas sebelum kemudian kutandatangani.

"Sudah?" tanyaku, menyerahkan berkas terakhir pada Lina

"Sudah, Pak."

"Kalau begitu saya turun sekarang saja, Lin. Mau mampir ke suatu tempat dulu sebelum ke tempat proyek..." Aku mengemas kembali tas kerjaku. "Kamu boleh kembali ke ruanganmu."

Senandung Rima Masa LaluWhere stories live. Discover now