5. Tinggal Kenangan

27.7K 2K 31
                                    


(Jogja, Sekarang) 

Ada yang berdenyut di dalam hatiku saat kenangan masa lalu tentangku dan Ridwan berkelebat dalam benakku. Ada secuil rasa cinta yang dulu pernah ada yang kembali terbersit dalam hatiku. Tapi itu kenangan tujuh tahun yang lalu, sebelum kehidupan mengalahkanku. Tapi kini, segala yang indah hanya tinggal kenangan. Cinta? Cinta itu bullshit! Cinta apa yang membuat seseorang melangkah pergi setelah merenggut segalanya dariku? Cinta apa yang membuatku harus menanggung segalanya sendiri? Cinta apa yang membuatku kehilangan ayahku karena kehamilanku? Cinta apa yang membuat ibuku kecewa padaku? Cinta apa yang membuat abangku sendiri membenciku? Cinta apa yang membuat seorang anak lahir tanpa ayah? Cinta apa? Cinta yang hanyalah omong kosong! Ya, itulah jawabannya. Pasti.

Kini, bagaimanakah perasaanku pada pria itu? Bencikah? Dendamkah? Aku tau ada segumpal perasaan yang kuat yang berakar dalam hatiku, tapi masih tak mampu kuartikan. Nyatanya aku memilih menghindar dari pria itu, daripada melangkah ke hadapannya, mencaci makinya atas semua kesulitan yang kualami dulu. Mengapa tiba-tiba saja terasa sulit bagiku untuk sekedar memahami perasaanku sendiri? Mengapa aku menjadi lemah begini?

"Bunda... Bunda kok nggak balik ke kantor lagi?" suara Tiara terdengar nyaring saat dia bertanya padaku yang sejak tadi duduk diam di sofa ruang tengah rumah kami.

Aku menoleh, melihat dia sedang menatapku dengan kening yang berkerut.

"Sini, sayang..." kutarik lembut tangannya, kubawa dia duduk dalam pangkuanku.

Kuusap rambut putriku dengan sayang.

"Bunda mau nemenin Tiara main aja.." ucapku lembut.

"Tapi kan kemarin bunda udah temenin Tiara main?" tanyanya, menatapku dengan bingung.

"Tapi bunda kangen sama Tiara... Masa Tiara nggak mau main sama bunda?" tanyaku, memasang wajah memelas.

"Mau, bunda... Tapi nanti kak Hana main sama siapa?" tanyanya lagi.

"Kak Hana kan banyak teman sekolahnya, tuh. Lagian dia bisa tidur siang kalo nggak temenin Tiara main..." jawabku.

"Gitu ya, bunda..." matanya membulat lucu.

Aku mengangguk dan memeluk gadis kecilku itu. Gadis kecil yang kini mulai ingin tahu mengapa dia tak punya ayah.

Tiara, haruskah bunda mengenalkanmu pada ayah kandungmu? Meskipun bunda benci memikirkan bahwa pria itulah ayah kandungmu, nak.

"Kalo gitu kita main apa, nda?" tanyanya padaku.

"Hm... main masak-masakan aja, gimana?" usulku.

"Nggak mau, nda. Kita main barbie aja, ya?" tanyanya, melepas pelukku dan menatapku dengan berbinar.

Aku tersenyum kecil dan mengangguk.

Tapi dering ponsel yang teredengar nyaring membatalkan niatku untuk mengambil barbie dari kotak mainan Tiara yang sudah disodorkannya padaku.

Alina.

"Ya, Lin..." sapaku.

"Rim, kamu nggak papa?" terdengar suara khawatir Lina. "Kok nggak balik ke kantor?" tanyanya.

"Hmm, Tiara kurang enak badan, jadi aku temanin..." kuberikan kebohongan termudah pada sahabatku itu.

"Nggak bisa minta tolong Hana? Sayang kan gajimu dipotong..."

"Sekali aja nggak papa deh, Lin..." jawabku.

Aku benar-benar butuh waktu untuk menenangkan pikiranku yang kalut saat ini.

Senandung Rima Masa LaluWhere stories live. Discover now