23. Fauziisme (4)

392 80 1
                                    

Lokasi kemah mahasiswa Jurnalistik.

Aku benar-benar tak bisa melupakan kejadian kemarin, saat mencuri sentuhan Vio. Dari awal ingin kulakukan tapi belum ada kesempatan, rasanya hangat dan manis. Seperti madu lumer di bibirku, Vio wangi apel. Aku tersenyum mengingat betapa merahnya wajah Vio saat itu dan betapa lucu parasnya, membuatnya semakin cantik. Seandainya kemarin lebih lama, Vio terlalu malu untuk membalas. Kenapa tidak dilakukan dari dulu dan lebih sering?

Vio menantang bertanding renang, tapi itu jelas tak pernah jadi pertandingan, Vio bahkan tak maju-maju saat berenang melawan arus. Aku merasakan kulit Vio yang basah menempel di lenganku. Otakku saat itu mulai berfikir yang aneh-aneh. Tapi ternyata logika masih menang, sadar itu di tengah hutan dan teringat akan nasehat pak lurah tentang kemistisan tempat, aku sekuat tenaga menahan keinginan untuk 'memakannya hidup-hidup'. Aku rela pulang dengan baju basah, memang tidak ada persiapan untuk menyebur ke air saat itu.

Aku melanjutkan lamunan, melamun saat santai memang paling menyenangkan. Walaupun saat ini aku berada di pinggir sungai yang berbeda, aku tak bisa melupakan peristiwa kemarin. Lagi-lagi lamunan masih tentang Vio, sesuatu mengenai apa yang tercetak jelas saat basah, wow dia sangat menggairahkan!

Pikiranku sungguh jelek, aku mendesah. Sungai itu sungai yang sama yang mengalir ke tempat Vio. Bedanya tempatku lebih ke hulu sementara sungai di lokasi Vio lebih ke hilir.

Sungai mengalir deras, seakan volume airnya itu tak habis-habis. Mahasiswa-mahasiswi baru dengan riang untuk terjun ke dalam derasnya air sungai. Terdengar suara menjerit-jerit dan tertawa riang. Ini hari terakhir KBM dan mereka bersenang-senang menikmati sungai yang sejak kemarin terlihat begitu menggoda untuk dicicipi, jernihnya air dan batu-batu polos yang licin. Batu-batu itu membelah-belah sungai, menimbulkan gemericik kasar dan menderu. Aku selalu heran melihat cewek-cewek, mereka sering menjerit-jerit tak karuan, Adrian mendadak muncul lalu duduk disebelahnya.

"Nggak ikutan, Zy?" tanya Adrian.

"Lagi penuh banget." Aku mengamati tak ada lagi tempat kosong di pinggir. Di sebelah kanan para pria, sering kepergok melihat pada sebelah kiri. Mungkin menikmati pemandangan yang menarik, seperti Jaka Tarub saat melihat tujuh bidadari, sayang tak ada selendang untuk dicuri. Bahkan tak ada yang meletakkan pakaian di batu atau di pinggir sungai, khawatir pada Jaka Tarub kah? Di sebelah kiri, dikuasai oleh kaum perempuan (istilah Vio), di tengah kosong sih. Tapi arus cukup deras, siapa yang mau ambil resiko.

Jenifer melambai-lambai ke arahku. Mungkin berharap aku ikut dalam kubangan kehangatan air sungai itu. Tapi kuacuhkan saja. Membuat Jenifer mengerutkan keningnya nyaris frustasi. Aku dan Adrian duduk di batu yang cukup besar untuk berbaring dan menggosongkan wajah kami menantang matahari. Sinar matahari saat itu amat sangat bersahabat, apalagi yang bisa aku pikirkan saat ini, selain bibir Vio yang hangat menyentuh bibirku. Salah. Bibirku menyentuh bibir Vio yang hangat. Lagi dan lagi.

Lamunanku seketika terhenti, aku melonjak saat mendengar jeritan, tapi berbeda dengan yang tadi. Melihat Adrian terlonjak dan aku pun refleks bangun. Salah satu mahasiswi baru tergeret arus, entah apa yang dia lakukan sampai berada di tengah. Tangannya menggapai-gapai berusaha mencari apapun yang bisa dipegangnya. Beberapa pria mencoba menariknya tapi tubuh cewek itu terbawa air terlalu cepat. Tak ada yang berhasil menangkapnya dari sungai. Refleks aku berlari kencang menyisiri sungai searah dengan arus sungai. Begitu melewatinya, aku segera melompat menceburkan tubuh ke sungai, tanganku cepat meraih pinggang gadis itu.

Ah tipe orang kalap, saat ditangkap ia malah berontak-rontak tak karuan, panik, punggungku terbentur batu kali yang cukup besar. Selama beberapa saat dia meronta-ronta, biasanya kondisi seperti ini mengharuskan untuk melumpuhkannya. Tapi tak mungkin aku memukul cewek ini. Akhirnya dia diam saat sadar ada yang menolongnya, seakan membawa bulu aku berenang ke tepi.

Mahasiswa yang saat itu berada di sungai segera berlari kearah kami untuk menyelamatkannya, banyak yang menangis. Gadis itu tersedak tampak shock, mungkin tak ingin percaya bahwa ia nyaris mati. Semua segera berkerumun. Ada-ada saja, pikirku. Berapa kali aku harus mengalami hal seperti ini?

Aku menjauh dari kerumunan itu, menuju batu kali yang cukup besar dan datar, punggungku yang tadi terbentur batu mulai terasa sakit. Aku berdiri tegak, air menetes-netes dari tubuh dan pakaianku yang basah, yang tadi tak terpikir untuk kulepaskan. Kemarin bajuku juga basah, tapi jelas jauh lebih menyenangkan dibanding kondisi ini. Aku melepaskan kaus hitamku dan menatap sosok yang tadi kuselamatkan, nyaris tak terlihat lagi karena kerumunan. Tak menyadari sebagian besar mata di sana menatap dengan kilat kagum.

🌠🌠🌠

Tak jauh dari sana terlihat sosok gadis menatap Fauzy. Dia adalah Jenifer, pandangannya tak pernah teralih dari Fauzy. Tubuh Fauzy yang telanjang basah dan berkilauan tertimpa cahaya matahari, rambutnya juga basah, air menetes-netes dari dagunya dan pecah saat terbentur di batu, celana Fauzy yang berbahan parasut menempel erat di kulitnya. Belum cukup dengan itu semua Fauzy mengibaskan rambutnya, menggelengkan kepalanya cepat. Betapa saat itu dia terlihat begitu menarik, Jenifer dan semua yang memandangnya tercekat, nyaris pingsan dan berandai seandainya tadi merekalah yang hanyut. Diselamatkan oleh pria yang entah demi apapun terlihat sangat menakjubkan ini. Fauzy menghilang secepat ia muncul.

Saat acara bebas di malam hari, mahasiswa baru diminta menulis surat cinta pada senior yang dikaguminya. Tak heran kalau Fauzy mendadak mendapatkan surat yang terbanyak. Kalaupun selama ini yang melihatnya langsung terpesona, masih banyak yang belum melihatnya, kejadian tadi seakan mengeksiskan keberadaan Fauzy yang awalnya tak terlihat.

Dengan tatapan heran Fauzy bertanya pada Adrian."Kenapa bisa?"

"Sangat menyebalkan," rutuk Adrian. Ia sendiri hanya mendapat dua buah surat. Padahal wajahnya selalu berseliweran sejak ospek, sementara Fauzy baru saja nongol. Yah mau apalagi, tak mudah mengalahkan pesona Fauzy. Terlebih saat ia mendadak jadi pahlwan ke-sore-an, memamerkan wajah dan tubuhnya di bawah sinar matahari, membuat cewek-cewek melotot dan histeris.

Dasar cewek! rutuk Adrian lagi.

🌠🌠🌠

Arah (END)Where stories live. Discover now