27. Survival (2)

480 80 1
                                    

Sesuai perkiraan, Vio mengamuk saat melihatku muncul di kosannya. Lalu dia menangis, marah dan kecewa saat aku bilang kalau aku akan mengambil cuti. Kami mungkin tidak akan bertemu untuk beberapa bulan. Vio mengatakan tak masuk akal untuk cuti di saat seperti ini.

Tadinya aku ingin melakukan semua diam-diam, aku bahkan tak ingin menunjukkan wajahku sosokku yang seperti ini pada Vio, tapi itu tidak mungkin, dia pasti akan melihatku di sekretariat Fakultas atau mendengar kabar dari orang lain.

Aku menutup pintu kamar kosnya agar suara Vio tak terdengar oleh penghuni kosan yang lain, semoga ibu kosnya tak menyadari. Sebentar saja. Vio, jangan katakan apapun. Aku tak akan merubah keputusanku.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kamu membuatku gila selama berhari-hari, lalu muncul dan ingin menghilang lagi? Apa kamu ingin main-main Fauzy?"

Aku diam.

Vio mencecarku dengan pertanyaan. Aku tak tahan memandang wajahnya. Matanya bengkak, aku belum pernah melihatnya seperti ini. Aku yang membuatnya seperti ini. Ini salahku, seharusnya aku pikirkan saat dulu aku bilang ingin bersamanya.

Ya saat ini aku memang sedang ...

... gelap.

"Aku nggak bisa menjelaskannya padamu," kataku.

"Apa maksudmu, Fauzy?"

"Saat ini nggak ada yang perlu dijelaskan."

"Kenapa kamu jadi seperti ini? Kamu nggak bisa pergi tanpa bilang apapun padaku." Vio masih marah, aku rasa itu wajar.

"Maaf Vio, tapi aku harus melakukannya." Aku tak tahan untuk lebih lama berada di sini dan memandang wajah cantiknya yang sendu.

"Kamu aneh! Kamu seperti orang lain, bukan orang yang aku cintai selama ini."

Aku terhenyak mendengar kata-kata itu. Vio terdiam saat melihat perubahan di wajahku.
"Hentikan itu Vio, orang yang kamu cintai itu hanya buatan."

Aku melihat kepedihan membayang di wajah Vio, dia jelas terpukul oleh kata-kataku. Apa yang sudah aku lakukan padanya?

Aku meninggalkannya yang terdiam membeku. Satu lagi keburukan tentang aku akan tertanam di benaknya. Aku hanya berharap saat kembali padanya nanti, aku adalah sosok Fauzy yang dicintainya.

*****

Aku kembali pada Farhan, situasi belum membaik. Aku dan Farhan tak bicara pada ayah. Ibu telah menyewa pengacara perceraian, ibu menuduh ayahku berselingkuh saat ayahku telah bersama ibu.

Seperti semua sisi punya cerita, akhirnya aku tahu, ayah dan ibu Farhan sedang dalam proses cerai saat beliau bersama ibuku.

Tetapi, ketika mengetahui kalau ibu Farhan sakit, ibuku memutuskan untuk pergi. Bagaimanapun, tetap saja ibuku menjalin hubungan dengan ayah di saat ayah masih berstatus menikah. Apapun alasannya, aku tidak bisa membenarkan hal itu.

Ayahku telah bersumpah bahwa dia tidak bersama wanita lain saat bersama ibu. Tapi, ibuku sulit menerima kenyataan bahwa ada wanita lain dari masa lalu yang merusak keluarganya dan yang terparah menghancurkan anaknya. Sekalipun itu bukan anak kandungnya. Ibuku menyayangi Farhan, seperti halnya aku.

Kami tak bisa menghentikannya dan aku tak sempat bicara lama dengan ibu, yang ingin aku lakukan saat ini hanyalah mendukung Farhan.

Hampir satu bulan berlalu, kadang aku menelpon Vio. Aku sendiri rupanya tak tahan tanpanya.

"Rindu padanya?" tanya Farhan.

"Jelas. Perpisahan kami buruk," jawabku penuh penyesalan.

"Aku tak heran, dengan sikapmu itu."

"Entahlah bang, terkadang aku ingin jadi dirimu saja."

Farhan tertawa. "Mungkin Vio tidak akan memilihmu, jika kau jadi aku."

Aku menenggak cairan dari gelasku yang tinggal setengah.

"Apa kau sudah cukup umur untuk meminum minuman itu?"

"Payah, aku sudah 19 tahun."

"Harusnya bukan sudah tapi baru 19."

"Abang saja yang kelewat tua tau."

"Aku memikirkan rencana, bagaimana kalau kita mendamaikan ayah dan ibu. Kemudian kita menyewa apartemen untuk tinggal berdua saja," kata Farhan.

"Itu rencana yang menarik, tapi aku nggak mau. Aku malas diperintah-perintah olehmu, lagian kalau kau menikah, aku tak ingin melihat kemesraan kalian." Aku tertawa kecil berusaha menghiburnya.

"Entahlah, kadang aku berpikir untuk merelakan Gea. Tapi aku sadar itu sulit, karena aku terlalu lama bersamanya, dalam hatiku aku masih berharap kalau apa yang dia katakan saat itu karena desakan ibunya dan ia sesungguhnya benar-benar punya perasaan kepadaku."

"Aku yakin begitu. Kau percaya tidak aku selalu iri melihat kalian."

"Oh, ya?"

"Ya, mungkin itu penyebabnya saat bisa mendapatkan sesuatu yang sama, aku jadi kelewat mencintainya." Seperti rasaku pada Vio.

"Baguslah, setidaknya kau tidak lagi brother complex." Farhan tertawa terbahak, dia sudah kembali seperti dulu, aku tersenyum. Mungkin aku juga bisa merubah diriku lagi, aku hanya butuh kepastian saja.

Kami mendatangi lagi apartemen Gea untuk ke sekian kalinya, menunggu pintu apartemen yang tak kunjung terbuka itu. Akhirnya penantian membuahkan hasil juga. Perlahan pintu itu terbuka, wanita dengan usia lewat 50-an tapi masih terlihat anggun dan cantik terlihat di sana.

"Kamu? Mau apa kamu ke sini?" tanyanya dingin.

"Maaf tante, saya ingin bertemu Gea," sahut Farhan.

"Dia tak ingin ketemu kamu lagi, bukannya kalian sudah putus?"

"Saya berterimakasih tante telah membesarkan Gea, tapi tante mau dengar, tante sama sekali bukan ibu yang baik." Farhan berkata tegas,  "Gea!" Farhan menyelonong masuk sambil memanggil-manggil Gea, aku menyusulnya.

"Tunggu!" teriak mama Gea.

"Farhan" Gea muncul, matanya bengkak pasti habis menangis. "Kenapa kamu datang?"

"Untuk menjemputmu?"

"Tapi ...." Gea menoleh pada mamanya, ada bayang ketakutan di matanya. Mamanya tetap diam dan tanpa ekspresi.

"A-aku sudah bilang, aku nggak mencintai kamu, Farhan."

"Aku tak peduli, aku bersumpah akan membuatmu tergila-gila padaku!"

"Farhan!" Tangis Gea pecah. "A-aku maafkan aku mengatakan hal-hal yag kejam padamu, mana mungkin aku tak mencintaimu." Gea menghambur kepelukan Farhan.

Farhan berbisik, "Geaku"

"Mama, maafkan aku."

"Pergi! Kamu bukan anakku," sahut ibu Gea dingin.

Farhan segera menarik tangan Gea, meninggalkan ruangan itu. Hampir saja dia mengacaukan semuanya. Gea memutuskan untuk mengikuti kata hatinya walaupun itu bertentangan dengan keinginan ibu, ibu angkatnya.

Aku tertawa dalam hati ternyata Vio lebih jeli dari aku, Gea bahkan tak butuh waktu lama untuk memilih Farhan. Farhan telah membuat perubahan besar dalam diriku, bolehkan aku berharap Vio yang menyempurnakannya.

***

Arah (END)Where stories live. Discover now