D; Tiga Belas

12.6K 896 36
                                    

Jet lag membuat Dimas hampir gila. Bagian bawah mata tampak membengkak kala ia baru keluar gate bandara, beruntung sungless hitamnya menutupi. Mata kantuk lelaki itu sedikit terkejut sebab bliz kamera yang tiba-tiba, begitu juga penjagaan ketat di kanan kiri. Ia kira di sini tak akan ramai paparazi.

"F*cking sh*t," umpat Dimas, cepat-cepat menepi digiring oleh sekretarisnya, Brayn. Langkah terburu beberapa orang mengikuti ke mana Dimas pergi, hingga buat panik mendadak.

"Saya rasa itu bukan paparazi," ucap Brayn, "ikuti Ilyasa, Tuan, saya akan menghalau mereka."

Ilyasa menekan handsfree lalu mengangguk, giring Dimas ke satu gate ke luar. Dua penjaga ikuti dua lelaki berkemeja putih itu menuju satu mobil hitam yang pintunya sudah terbuka. Semakin terburu-buru Dimas memasuki mobil, pun pintunya digeser hingga rapat.

"Aku bisa gila beneran," rutuk Dimas, begitu cemas melihat ke luar. Brayn kalah, orang-orang yang memegang kamera tadi hampir tiba di sisi mobil.

Mobil berisi tiga orang itu melaju cepat dan diikuti tiga mobil lain satu meter setelahnya. Dimas yang sudah merasa bebas hanya bisa hela napas.

"Rasanya baru kemarin aku dikejar seperti ini," ucap Dimas kesal, melepas kancing teratas kemejanya, "tapi bukan karena berita miring Lydra. Sialan."

"Itu bukan paparazi," beritahu Ilyasa. Lelaki itu menghadap Dimas dari bangku depan, perlihatkan layar tab.

"Kita bahkan diikuti. Itu seperti IT dari satu perusahaan."

Dimas berdecap sebal, menyugar rambutnya pusing, "Lydra, right?"

Ilyasa hanya mengangguk, sepertinya lelaki itu sama lelahnya dengan Dimas. Bola safir Dimas bergulir cepat pikirkan satu cara agar lepas dari kejaran.

"Jangan ke penginapan milik Papa, kita ke luar dari distrik kota dahulu," perintah Dimas.

"Baik."

Navigasi perjalanan diubah cepat oleh sopir, keluar dari jalan utama menuju jalan tol. Dimas mulai repot di jok belakang, lepas atasan agar ia leluasa luruhkan alat komunikasi yang tersambung. Terakhir, ia matikan ponselnya.

"Matikan semua jaringan, Ilyas. Kita pakai talkie walkie saja. Apa kalian bawa?" tanya Dimas.

"Ada, Tuan."

Sesuai arahan, satu per satu alat komunikasi mati. Dimas kembali pakai baju namun bukan kemeja, melainkan sweter yang tergantung di belakang. Ia terima uluran benda seperti ponsel jaman dulu.

Dimas menekan sebelum berucap, "Matikan semua signal kalian. Kita menuju pelosok."

"Juga matikan navigasi kalian, termasuk punya kita, Ilyas."

Damn, Ilyas sempat mengumpat sebab navigasi masih menyala sejak tadi. Sopir pun turut andil mematikan kamera dashboard. Memastikan semua beres, Dimas mengecek lagi.

"Not yet?"

"Done, Sir," jawab talkie walkie.

Dimas lihat ke belakang, tiga mobil ada di sana.

"Oke. Go."

Di jalan yang mulai berliuk itu, tiga mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Dimas berada di mobil paling depan kini bisa menghela lega, sandarkan punuk lelah.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang