Undangan dari Mantan

47.9K 5.5K 440
                                    

Tatapan tajam itu seakan menembus tubuh Fayka. Sosok di depannya tiba-tiba datang dengan wajah kecut yang membuat Fayka berdiri kaku. Fayka hanya menundukkan kepalanya, tidak berani menatap sang ibu yang tampak marah padanya.

"Kapan kamu seminar proposal, Fayka?"

"Belum tahu, masih ngerjain bab satu."

Tampak terdengar decakan dari sosok perempuan yang melahirkannya itu. "Ibu nggak mau tahu, kamu harus seminar proposal secepatnya, Ibu nggak mau kamu telat lulus kuliah, ya."

"Tapi, Bu, aku udah usaha. Dosen pem—"

"Nggak ada alasan! Kamu saja yang malas."

Mata Fayka berkaca-kaca, selalu seperti ini jika berbicara dengan ibunya. Sang ibu yang akhirnya nyolot dan Fayka yang akhirnya hanya diam mendengar ocehan ibunya sampai telinga terasa sakit. Ia memang jarang membantah jika kesabarannya tidak benar-benar habis.

"Kamu dengar, kan, apa yang Ibu bilang?"

"Iya."

"Ibu nggak akan mau bayarin UKT kamu lagi kalau kamu telat lulus. Kalau bisa bulan Januari sebelum semester delapan kamu sudah harus sidang skripsi."

Mata Fayka membeliak, ia mengembuskan napasnya, menatap Jannah—ibunya dengan wajah melas. Mustahil, Jannah meminta hal yang jelas tidak mungkin bisa dikabulkan oleh Fayka.

"Bu, aku saja belum sempro, gimana mau sidang Bulan Januari? Ibu nggak sedang bercanda, kan?"

"Memang Ibu pernah bercanda?"

Fayka menggeleng, ibunya yang kaku mana pernah bercanda, kalau bicara selalu serius dan kadang menyakiti hatinya.

"Jadilah anak yang berguna, buat ibumu bangga. Jangan buat Ibu menyesal melahirkanmu ke dunia."

Air mata Fayka tumpah, ia menatap nanar ke arah ibunya. Bukan kali ini saja ibunya berbicara kasar, sudah sangat sering dan itu benar-benar menyakitinya secara tidak langsung, kata-kata itu melekat di dalam pikirannya sepanjang waktu.

"Iya," kata Fayka tak bersemangat.

"Ya sudah, Ibu balik dulu ke hotel ayahmu, itu nasinya dimakan."

Fayka mencium tangan ibunya sebelum wanita itu benar-benar lenyap dari ruang tamu kosannya, menyisakan dirinya seorang diri. Mungkin, di luar sana banyak orang tua yang tidak sadar telah menyakiti hati anak lewat ucapan yang terkadang tidak seberapa, tapi perlu diingat bahwa kondisi mental pada setiap manusia itu berbeda. Fayka jelas, berada di zona mental lemah yang tidak bisa disenggol dengan ucapan-ucapan menyakitkan.

Perempuan itu menghapus air mata di wajahnya, lalu berdiri dari sofa yang ia duduki, mengambil nasi kotak yang ibunya bawa sebelum beranjak dari sana. Sepertinya, Fayka membutuhkan ketenangan, kepalanya terasa mau pecah saja.

***

"Mama jaga kesehatan lah, Ma. Aku, kan, jauh. Kalau Mama sakit siapa yang urus? Si Seina mana bisa jagain Mama, manja gitu," kata Yasa sembari menatap ke arah adik perempuannya.

"Yeee, si Abang, enak aja. Siapa juga yang manja? Gue, kan, rajin."

"Rajin ngabisin duit Mama buat belanja," timpal Yasa. Adik perempuannya itu memang hobi belanja dan keluyuran bersama temannya.

"Ya wajar, dong. Namanya juga cewek, kebutuhan banyak."

"Tapi, Kak Seina, kan, memang suka belanja hal-hal nggak penting, kemarin baru beli lighstick sama album artis Korea yang harganya lebih dari satu juta."

Mata Yasa memicing, menatap Seina tajam ketika adik keduanya—Dean mengatakan kelakuan Seina yang boros.

"Yah, Bang. Kan, mereka baru rilis LS baru sama album, ya, gue kudu beli dong, harus dukung oppa-oppa kesayangan gue."

SKRIPSUIT  ✔Where stories live. Discover now