Sesi Konseling

33.2K 5K 347
                                    


Kamu tidak sendiri, saya bersamamu. Seberat apa pun pelik yang sedang memelukmu kini, saya bersamamu, selalu. Mari kita saling menggenggam, dan menghadapinya bersama.

"Jadi, penelitiannya buat dua orang?" Rommy—Guru BK di sekolah itu menatap surat yang dibawa Fayka.

"Iya, Pak. Saya sama teman saya, itu di situ ada dua surat. Kalau Bapak butuh proposal penelitian saya dan teman saya, nanti bisa saya antar," kata Fayka menjelaskan, ia tadi sempat membuatkan surat izin Nindy juga. Beruntung, ia melakukan penelitian di sekolah menengah pertama, proses perizinannya tidak begitu sulit, tidak harus melalui Bakesbangpol dulu, melainkan langsung ke sekolah, coba saja ia melakukan penelitian di sekolah menengah atas, pasti ribet sekali. Harus mendapatkan izin dari Bakesbangpol baru bisa lanjut ke sekolah yang dituju.

"Oke, nanti saya kabari. Tapi, sepertinya bisa, kok, ini, cuma suratnya harus masuk ke humas dan wakasek dulu. Enggak masalah, kan, ya?"

Fayka mengangguk dengan wajah yang berbinar—ia hampir frustrasi mencari tempat penelitian dan akhirnya ia memiliki kejelasan, ya, meski harus tetap menunggu.

"Boleh, Pak. Nanti saya tinggal nomor saya di amplop suratnya, biar gampang dihubungi."

"Paling besok sudah bisa, Mbak. Ini untuk bulan depan, kan?"

"Iya, Pak kalau tidak ada halangan. Saya juga butuh uji buat angket saya dulu soalnya. Kalau misalnya jadwalnya agak geser sedikit gitu, apa enggak masalah?"

"Bisa-bisa saja, tapi saran saya jangan dekat sama waktu ujian, berhubungan kita juga lagi nyiapin buat UN, jadi memang nanti sekolah juga banyak liburnya."

"Iya, saya usahakan, Pak. Terima kasih."

Rommy tertawa kecil sambil menoleh pada Yasa yang daritadi sibuk dengan ponselnya, laki-laki itu beberapa kali mengerutkan dahinya saat melihat ponselnya.

"Sibuk opo, Sa?"

Yasa nyengir, buru-buru menutup ponselnya, lalu tersenyum tidak enak pada seniornya itu. Rommy dua tahun di atasnya, dulu mereka lumayan dekat karena satu organisasi, tapi setelah Rommy lulus, mereka memang jarang bertemu lagi.

"Eh, Mas. Enggak, kok, gue cuma ngecek WA dari Nyokap."

Rommy tergelak. "Iki pacarmu ta, Sa?" kata Rommy sambil menunjuk ke arah Fayka. Yasa sendiri memang sedikit banyak mengerti Bahasa Jawa, sekadar mengerti, jadi ia paham apa yang dimasud oleh Rommy.

"Eh, enggak, Pak. Bukan pacar saya, kami satu bimbingan," balas Fayka tidak enak. Pacar Yasa? Hah, never. Bisa mati muda dia memiliki pacar yang punya gebetan di mana-mana seperti Yasa.

"Haha ... malu, Mas anaknya. Lo ada-ada aja elah."

"Loh, enggak pacaran? Cocok loh, Sa. Biasanya, ada yang bening dikit kamu gebet." Rommy masih ngotot menggoda dua anak manusia itu—tidak mau mengalah.

"Orangnya enggak mau, Mas. Ya, masa gue akuin jadi pacar?"

"Jadi, ditolak?"

Yasa tertawa, melihat ke arah Fayka yang mukanya sudah memerah—Fayka malu. Yasa malah ikutan menggodanya, sialan jantan satu ini.

"Lebih cocok jadi adek, Mas. Dia kayak adek gue sendiri."

Fayka bernapas lega, kewarasan Yasa sudah kembali, akhirnya.

"Adek ketemu gede? Adek rasa pacar? Basi, Sa."

Yasa nyengir lagi, Fayka jadi menghela napasnya malas. Ingin marah pada dua orang itu, tapi nanti tidak sopan. Lagi pula, ia sangat butuh bantuan Rommy untuk penelitiannya ini. Jangan sampai, Rommy memberinya cap mahasiswi tidak sopan dan tidak jadi membantunya, itu buruk sekali..

SKRIPSUIT  ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora