Calon Jodoh

31.3K 5.1K 560
                                    

Lembar yang kugunakan untuk melukis tentang luka telah kehabisan halaman. Saat ini, sudah waktunya membuka lembar baru dan menutup segala lembar tentang rasa sakit dan luka.

"Beb, kamu kenapa? Tak perhatikan, mukamu belakangan ini kusut."

Fayka tersenyum tipis, sembari menyomot daging ayam yang sedang ia makan. Sepulang dari penelitian di sekolah, mereka mampir di salah satu kedai makanan cepat saji di daerah Darmo, sekadar membuang lelah dan mengisi perut memang sudah waktunya jam makan siang.

"Enggak papa kok, Nin. Aku baik-baik aja."

"Enggak ah, bohong. Lagi banyak pikiran, ya?"

"Keliatan, ya?"

"Heem, kayak enggak ada semangat hidup. Mikirin skripsi?"

Fayka menelan sisa makanannya, lalu meminum soda yang terletak di sisi kiri tangannya, sementara Nindy menunggu perempuan itu untuk bercerita.

"Ya salah satunya, ada masalah kemarin, udah enggak papa, kok, sekarang."

Nindy tersenyum tipis pada Fayka. "Apa pun masalahmu, aku harap cepet selesai ya, Beb. Kita harus saling menguatkan, apalagi proses skripsian ini juga salah satu hal yang berat dan menguras pikiran, tapi kita harus yakin pasti semuanya bisa selesai."

"Makasih ya, Ndy. Makasih juga udah jadi partner skripsian yang selalu mendukung pas lagi masa krisis kayak gini."

Nindy tertawa, perempuan itu lalu mengambil kentang goreng yang tadi ia pesan dan memasukkan kentang gorengnya ke dalam mulut. Matanya memerhatikan badan Fayka yang sedikit lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu minggu lalu.

"Kita sama-sama berjuang buat jadi sarjana, dan aku beruntung enggak berjuang sendirian. Seenggaknya, kalau lagi bingung ada yang kuajak diskusi."

"Bener, sih, aku juga enggak bingung sendirian. Apalagi skripsi yang kita ambil cukup berat, kadang rasanya ... hampir nyerah, tapi keinget lagi, eman banget kalau nyerah sekarang, tinggal selangkah jadi sarjana. Enggak mau aja kuliah empat tahunku sia-sia tanpa gelar."

Nindy mengangguk mengiyakan. "Mungkin, bagi sebagian orang, itu pilihan. Mereka merasa cukup dengan ilmu dan enggak pengin gelar sarjana, atau mereka malah sibuk kerja dan berpikir hidupnya sudah enak dan sukses, tapi bagiku Fay, ilmu aja enggak cukup. Meskipun cuma selembar ijazah, tapi makna berjuang di balik itu berat banget, apa yang aku korbankan juga banyak, makanya tiap kali ngerasa hampir putus asa, aku selalu bayangin perjuangan kuliah sampai sejauh ini."

Fayka mengembuskan napasnya dan mengunyah sisa makanan terakhir, piringnya sudah bersih, hanya tersisa tulang ayam dan saus yang tertinggal di atas piring.

"Sama, Ndy. Beberapa waktu lalu, aku sempat berpikir buat mati, karena menilai hidupku enggak lagi punya makna, tapi setelah berpikir semalaman dan mengenang banyak hal yang kulakukan sejauh ini buat bertahan, aku sadar, bahwa aku belum benar-benar ingin menyerah, masih banyak hal dalam hidupku yang walau berantakan tapi masih bisa diselamatkan. Salah satunya, harapanku untuk jadi sarjana."

"Fay, kamu kuat udah bertahan sampai sekarang, jangan lukai dirimu sendiri lagi, ya?" kata Nindy sembari melirik bekas sayatan di tangan Fayka yang terlihat samar.

"Aku—"

"Aku enggak tahu lukamu sebesar apa sampai kamu memilih buat melukai dirimu sendiri ketimbang metode lain, tapi, apa pun itu, aku percaya kamu perempuan hebat yang bisa memenangkan pertarungan dengan masalah itu."

"Ndy ...." Fayka mengembuskan napasnya, Nindy memang tahu mengenai bekas luka itu, dulu, ia sempat bercerita perihal dirinya yang pernah self harm, dan jelas, Nindy menatapnya iba.

SKRIPSUIT  ✔Where stories live. Discover now