Bab 9: Jujur dan Pesan

2.3K 241 86
                                    


"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan ...."

Ayasa berdecak, menyerah setelah berulang kali mencoba menghubungi Adriel. Semua cara sudah dia lakukan. Mengirimkan pesan lewat WhatsApp, bahkan SMS konvensional. Tidak dibalas. Ditelepon melalui WhatsApp, berujung nada tunggu panjang menyebalkan sampai berakhir sendiri, tanda tidak aktif. Terakhir cowok itu online tiga jam yang lalu. Pesan yang dia kirimkan hanya ceklis satu. Langkah terakhir, lewat panggilan biasa. Tetap tidak diangkat. Tiga kali mengulang, dan hasilnya selalu sama, membuat Ayasa frustrasi sendiri.

Sesuai perintah Tiya, selain Oliver, Adriel juga harus turut memberi pendapat. Lagi-lagi, Ayasa sungguh ingin melarikan diri dari tanggung jawab. Oliver mungkin masih bisa dihadapi dengan kepala tegak. Pada dasarnya, cowok itu memiliki tutur kata yang jauh dari kesan superior, mengintimidasi, atau menghakimi. Hal yang jauh berbeda dengan Adriel. Cowok itu benar-benar kebalikan Oliver. Tutur kata tajam, pilihan kata menusuk, tidak peduli bagaimana perasaan orang lain. Tujuh tahun menjalin hubungan persahabatan membuat Ayasa kenal benar siapa Adriel. Cowok itu hanya mengatakan apa yang dia anggap fakta dan kenyataan. Bodo amat jika hal itu berpotensi menyakiti orang lain.

Mungkin bagi Oliver, rasa kue yang Ayasa buat tidak memiliki masalah. Belum tentu Adriel akan mengatakan hal yang sama. Feeling Ayasa, Adriel akan mengkritik tanpa ampun dari A sampai Z. Bahkan kesalahan kecil yang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pun tidak akan luput. Pasti. Berani bertaruh. Makanya, jangan heran jika Ayasa benar-benar sudah memasuki fase senewen berat. Belum cukup dengan perasaan dan pikiran campur aduk tidak keruan karena terlalu memikirkan hal yang sebenarnya belum dan belum tentu akan terjadi, Adriel juga tidak kunjung memberi balasan balik terhadap usaha Ayasa menghubungi cowok itu. Plus geliat tak mengenakkan di bawah sana, sepertinya sudah mulai ke tahap kritis. Sempurna sudah.

Ayasa menghela napas panjang, melempar ponsel ke jok sebelah. Tangannya bergerak menarik persneling, kembali melajukan mobil menuju rumah Adriel. Masih cukup jauh. Ayasa baru sadar bahwa kediaman Oliver dan tempat tinggal Adriel bak dari utara ke selatan. Mata Ayasa tanpa sengaja melirik langit malam yang tampak mendung. Awan kelabu sepertinya betah sekali hinggap dari sore hingga sekarang. Memberi kode tarik ulur kemungkinan akan terjadi hujan. Guntur pun sesekali terdengar. Namun, sampai sekarang, hujan tak kunjung turun.

Tiba-tiba saja, Ayasa teringat pertengkaran antara dirinya dengan Adriel siang tadi. Gusti! Cewek itu mengusap wajah, memutar kemudi ke arah kanan. Rasanya campur aduk. Antara takut, segan, kesal, marah, dan malu. Jika boleh jujur, Ayasa berharap Adriel tidak ada di rumah sekarang ini. Memberikan peluang bagi Ayasa untuk mencari-cari alasan. Bisa saja, sih, Ayasa langsung putar balik dan pulang, lantas mengibul kepada Tiya bahwa Adriel tidak ada di rumah. Namun, mengingat sifat Tiya yang tidak mudah percaya dan mudah membaca kebohongan, membuat Ayasa berpikir ratusan kali untuk merealisasikan rencana tersebut. Setidaknya, jika benar Adriel tidak ada di rumah ketika Ayasa sampai di kediaman cowok itu, Ayasa bisa mengatasi beberapa hal sekaligus. Lolos dari ide konyol Tiya, menyelamatkan muka dan harga diri, dan tidak perlu bertemu Adriel mengingat mereka tengah bertengkar. Garis bawahi kalimat terakhir karena poin pentingnya justru itu.

Semoga saja. Kalaupun cowok itu ada di rumah, Ayasa juga sudah menyiapkan rencana lain.

Sudah ditetapkan. Ayasa hanya akan menyerahkan kue yang teronggok di jok belakang, meminta pendapat dengan cepat, lalu pulang. Tidak perlu berbasa-basi seperti saat bertandang ke rumah Oliver. Kunjungan yang rencananya hanya sebentar untuk mengantar kue dan memintai pendapat berubah seratus delapan puluh derajat. Ayasa betah berlama-lama dan duduk mengobrol bersama Oliver. Membicarakan tentang apa saja. Sampai hal random sekali pun tak luput. Rasanya menyenangkan. Terlebih, Oliver bisa menyeimbangkan antara menjadi pendengar yang baik dan pencetus topik. Hal yang tidak Ayasa dapatkan dari Adriel selama bertahun-tahun.

[CAMPUS COUPLE] Ray Hidayata - Goodbye and GoWhere stories live. Discover now