4. Mencoba Menjalani

40.5K 2.6K 40
                                    

Ketika kau berkata YA, maka segala konsekuensi turut pula mengikuti. Bukan yang indah saja tentu, karena kau masih tinggal di dunia, bukan di surga.

***

Nara dan Luli berjalan keluar dari sebuah butik busana muslim. Lila tampak lelap dalam gendongan Nara. Di sampingnya, Luli menenteng dua paperbag pada tangan kirinya. Sehelai gamis dan kerudung bernuansa cokelat muda lengkap dengan bros yang akan mempermanis penampilan Nara, juga sepasang selop berwarna senada menghuni ruang dalam paperbag putih. Satu paperbag lagi berisi kemeja milik Fikar dan gamis kecil untuk Lila, semua berwarna senada dengan milik Nara.

Nara sendiri yang memilih semuanya untuk dikenakan esok pagi saat akad nikahnya. Sengaja memilih busana muslim karena ia ingin menghormati Fikar. Alasan lain adalah agar jika suatu hari kelak ia memutuskan mengenakan jilbab, foto pengantinnya tetap layak untuk dipajang. Walaupun entah kapan, karena saat ini ia belum terpikir sama sekali untuk menutup auratnya dengan sempurna.

Sosok Fikar menyusul keluar dari butik itu, lalu bersama menyusuri trotoar menuju Ertiga putih yang terparkir sekira 40 meter dari butik yang baru saja mereka tinggalkan. Nara tampak kelelahan, keringat berlelehan dari sesela rambut-rambut kecil di tepian dahinya. Kondisi yang justru menambah kecantikan Nara. Fikar yang menangkap pemandangan itu dari spion depan bersegera menyalakan pendingin udara. Juga menyodorkan kotak tisu pada calon istrinya.

"Ada apa, Pak? Eh, m-mas," tanya Nara, matanya melirik Luli dengan malu-malu.

"Lila berat ya? Kamu pasti capek banget. Keningmu sampai berkeringat begitu."

Nara tersenyum, mengambil sehelai tisu dan mengelap dahinya dengan malu-malu. Bukan malu pada Fikar, tapi pada Luli.

"Aku boleh ikut ambil tisunya nggak, Mas?"

"Boleh. Tapi khusus kamu nanti bayar ya," canda Fikar. Tentu saja dengan wajah yang tetap datar seperti biasa.

"Iya iya, yang gratis cuma buat calon istri kan ya?" ujar Luli. Sebuah tendangan kecil mendarat di kaki kirinya. Luli tertawa, melihat mata Nara yang sudah membulat menatapnya.

"Ampun, Kakak Ipar!" pekik Luli.

Mobil mulai meluncur dengan kecepatan sedang. Hening melingkupi ketiganya. Fikar fokus pada jalan yang harus dilaluinya, sesekali mencuri tatap dari spion depan, pada Nara, juga Lila di pangkuannya. Luli sibuk dengan gawainya. Sedang Nara sibuk dengan pikirannya.

Berjuang demi kebahagiaan orang lain memang tak mudah. Tapi jika orang lain itu adalah ibu, yang rahimnya pernah menjadi tempat hidup selama sembilan bulan sebelum akhirnya kau sapa duniamu, maka percayalah, semuanya akan terasa indah.

Begitu yang berkali Nara tanamkan dalam hati dan pikiran. Sambil terus berusaha meluruskan niat, juga menata hatinya. Bagaimanapun, yang akan dia jalani bukan sebuah permainan, melainkan sebuah komitmen. Dalam agamanya bahkan disebut sebagai mitsaqan ghalidza, perjanjian yang teguh.

Sekalipun hatinya menginginkan itu hanya sementara, setidaknya ada batas hingga ia merasa cukup dan bisa melangkah pergi, namun tak demikian dengan keinginan calon suaminya. Sang dosen arsitektur yang pendiam dan dingin itu bukan sosok yang senang bermain-main atau bersenda gurau. Mandi saja dia pakai perhitungan, apalagi menikah. Setiap yang diucapkannya tentu bukan sesuatu yang asal keluar seperti kebiasaan dirinya sendiri. Nara tahu persis dan menyadari soal itu.

"Udah sampai, Nar. Mau turun apa mau lanjutin ngelamun?" Nara tersentak mendengar pertanyaan disertai tepukan dari Luli. Melamun membuatnya sama sekali abai pada perjalanan yang mereka lalui.

Mendadak Mama (TERBIT)Where stories live. Discover now