24. Jatuh Sayang (2)

27.7K 2K 124
                                    

Dia yang kusangka sedingin es batu, nyatanya berkali memberi kejutan yang bisa melumerkan kerasnya hatiku.

- Masih kata Nara,
dan masih tentang Fikar -

---------

Yang mau melanjutkan kebaperan, waktu dan tempat dipersilakan :)

---------

Fikar menjalankan mobil dengan santai. Ia tampak lebih hapal jalanan Kota Salatiga daripada keluarga Nara yang penduduk asli kota tersebut.

"Mas Fikar, saya terima kasih banyak ya," cetus Arka pada kakak iparnya.

"Untuk?"

"Ar, kamu kalo terima kasih sama Mas Fikar tuh harus nyiapin jawaban, terima kasihmu itu untuk apa? Dia tuh ya gitu itu. Ribet," sahut Nara, disambut tawa Fikar.

"Alhamdulillah, sudah hapal kebiasaan suami ya, Na. Kamu memang istri solehah."

"Nggak usah ngeledek kali, Mas."

"Hush, sama suami kok gitu." Ibu berbisik, tangannya memukul paha anak sulungnya.

"Terima kasih, sudah menasehati Mbak Nara untuk menutup aurat dengan sempurna. Saya sebagai saudara laki-lakinya belum berhasil ngasih tau Mbak Nara. Mungkin memang harus yang lebih tua yang ngasih tau."

"Sebenarnya malah Lila yang bikin mbakmu memutuskan untuk berjilbab, Ar. By the way, memangnya kenapa kamu senang banget kalau mbakmu sudah menutup aurat dengan sempurna?" tanya Fikar serius, penasaran dengan alasan Arka.
"Saya pernah baca kalo perempuan bisa menarik empat golongan pria ke neraka, yaitu bapaknya, suaminya, saudara laki-lakinya, dan atau anak laki-lakinya. Jika pria-pria tersebut tidak bisa atau lalai dalam memberikan pendidikan tentang Islam, atau tidak menjaga si perempuan tersebut dari siksa api neraka. Salah satunya jika si perempuan nggak mau menutup aurat dengan baik. Saya takut masuk kategori yang lalai itu, Mas."

"Heh, itu dasarnya apa? Bisa dipertanggungjawabkan apa enggak lho? Jangan sembarangan, Ar. Mana bawa-bawa neraka. Yang kakakmu kan aku, kenapa jadi kamu mirip sama Mas Fikar gitu, nyalah-nyalahin orang narik ke neraka apalah itu. Ngawur!" Nara tak terima, nadanya meninggi mendengar alasan adiknya.

"Na, kamu nggak perlu marah begitu. Yang perlu kamu lakukan cuma istighfar. Harusnya kamu senang punya adik yang perhatian, yang ingin menyelamatkan kamu dari api neraka.

"Seandainya itu tidak ada dasarnya pun, tetap saja kamu seharusnya menghargai apa yang menjadi kekhawatiran Arka. Bukankah mencegah itu jauh lebih baik, Na? Kalau ternyata itu benar, minimal kamu sudah menjauhkan kami dari api neraka. Kalaupun tidak, apa ada ruginya dengan kamu menutup aurat? Kecuali kamu memang ingin memamerkan rambutmu yang kuakui memang secantik rambutnya bintang iklan shampo."

Suasana mobil seketika menegang. Arka takut pada reaksi kakaknya. Sedang Nara menunjukkan wajah sebagai seseorang yang terbakar emosinya. Fikar memandang gadisnya itu dari spion tengah, mengangguk dengan sorot mata penuh kelembutan manakala pandangan mereka saling bertemu. Nara menunduk, sedang tak ingin menyetujui ucapan sang suami.

"Maaf, Sayang. Tapi ini sudah kita bahas waktu malam pertama kan, Na?" Berusaha mencairkan suasana, Fikar menyebut Nara dengan 'sayang'. Sebenarnya ia belum siap, bukan apa-apa, ia hanya khawatir Nara merasa disamakan dengan Ayu. Tapi tak apa, karena sebetulnya Fikar suka menggunakan panggilan itu.

"Ehk, dia manggil aku 'Sayang'. Ih, yang bener aja. Malu-maluin," batin Nara

"Eh cieee, malam pertama nih ye. Ayo Mas, ceritain malam pertama aja." Arka semangat. Lupa kalau umurnya belum memenuhi syarat.

Mendadak Mama (TERBIT)Where stories live. Discover now