13. Mulai Jatuh Cinta

31K 2.2K 56
                                    

Masih dikepung lalu lintas kota Semarang yang mulai padat bak metropolitan, sebuah panggilan telepon terdengar dari gawai Fikar di dalam tas kerjanya yang ditaruh di baris kedua. Ia meminta tolong pada Nara untuk mengambilnya.

Nara bersungut, namun tetap memenuhi permintaan suaminya.

"HP itu mbok ya dipegang, ditaro yang gampang dijangkau. Biasanya juga gimana. Repot kan kalo gini," omel Nara.

"Iya, maaf, Na. Tadi kan kupikir kita mau ngobrol yang serius, mumpung cuma berdua. Makanya HP kujauhkan biar nggak mengganggu."

Setelah berhasil mengambilnya, Nara menyempatkan melirik nama yang tertera di layar sebelum berpindah ke tangan Fikar. Ibu.

Usai mengucap salam, Fikar sengaja me-loud speaker pembicaraan agar Nara ikut mendengarkan.

"Lila gimana, Bu? Rewel nggak?"

"Kamu lagi di mana ini, Zul?"

Ibu dan Fikar melempar tanya bersamaan. Fikar mengalah, mempersilakan ibu untuk lebih dulu memperoleh jawaban darinya. Disampaikannya bahwa ia masih berduaan dengan Nara, lengkap dengan alasan pendukung, "Mumpung Lila bisa lepas sejenak dari kami berdua." Ia pula setengah berbisik pada ibunya, mengingatkan untuk tak memanggilnya dengan sebutan Zul. Panggilan yang tak disukainya.

Nara tertawa menguping permintaan Fikar pada ibunya. Naluri keponya memberontak, tapi ditahan demi melihat wajah Fikar yang berubah seketika.

Ibu pun tertawa, lupa kalau panggilan itu selalu menimbulkan protes dari anak sulungnya. Beliau juga memaklumi keinginan Fikar untuk berduaan dengan Nara. Dan berusaha meyakinkan anak laki-lakinya dengan mengatakan bahwa Lila baik-baik saja, jadi tak perlu terburu untuk menjemput Lila.

Tapi tak demikian dengan feeling, Nara. Dia merasakan sebaliknya. Ia yakin ibu berusaha menyembunyikan sesuatu agar tak mengganggu kebersamaan Fikar dengannya.

"Mas, kita nggak usah pulang aja gimana? Langsung ke ibu. Saya kok nggak enak kalo ninggalin Lila kelamaan. Takut ngerepotin ibu. Kasian."

"Nggak pa-pa, Na. Kita pulang dulu saja. Nanti agak sorean baru jemput Lila. Kamu dengar sendiri kan tadi ibu bilang kalau Lila baik-baik saja."

"Tapi feeling saya nggak gitu, Mas. Tadi yang pertama ditanyain ibu adalah kita lagi di mana. Biasanya kalo nanyanya kaya gitu tuh sebenernya ibu butuh kita ke sana tapi nggak enak kalo ganggu waktu kita."

"Masa sih, Na? Apakah itu bagian dari kode-kodean yang cuma dipahami oleh sesama perempuan?"

"Hih, Mas nih bawel juga ya. Udah ah, Mas, gak usah banyak nanya. Pokoknya kita langsung ke ibu aja."

"Tapi, Na...."

"Kan tadi Mas bilang mau nurutin kemauan saya. Sekarang saya maunya ke ibu."

"Oke, Na, oke. Kita ke ibu sekarang." Fikar membawa mobil berbalik arah.

Sepanjang perjalanan mereka tak lagi saling bicara. Hanya suara Fikar yang terdengar mengalun mengikuti nada, menimpali kesibukan Nara dengan gadgetnya. Terus begitu, hingga gerbang perumahan tempat bapak ibu tinggal tampak di depan mata.

Ibu sedang menggendong Lila. Sedikit keberatan karena bobot Lila yang tak lagi ringan. Bahu si bocah di gendongan terlihat naik turun tak beraturan, sesenggukan.

Nara menghampiri tergesa, mencium tangan ibu, dan segera mengambil alih Lila ke pelukannya. Begitu menyadari siapa yang menyentuhnya, bocah menggemaskan itu menangis sekaligus berteriak kegirangan.

"Mamaaa. Mama ke mana? Mama kok lama? Lila nggak mau ditinggal mama pelgi lagi. Huhuhuuu." Dipeluknya leher Nara erat-erat, ditenggelamkan wajahnya di dada ibu tirinya. Nara merasakan kulit gadis kecil itu menghangat.

Mendadak Mama (TERBIT)Where stories live. Discover now