Pengumuman

77 0 0
                                    

Usai acara. "Yang. Kamu mendingan habis ini istirahat dulu sebelum nemuin keluarga besar," ucapku pada Renatta. Aku mengkhawatirkan kondisinya yang sedang hamil muda. "Iya sayang. Aku nggak apa-apa kok. Cuma agak laper aja," sahut Renatta. Aku spontan menyuapi istriku tersayang. Malah, kami sepiring berdua. "Mmmm. Ponakan-ponakan ini malah suapan ya. Seneng loh, lihat kalian," puji Tante Nina. "Iya, kan, saya mau jadi ayah, Tante," balasku. "What? Beneran? Doni, Renatta. Selamat ya. Tante seneng banget. Artinya, bulan madu kalian nggak sia-sia," ujar Tante Nina. "Nah. Karena pengantin udah keceplosan, ya...kami sekaligus mengumumkan bahwa...menantu saya tersayang, Renatta, memang tengah hamil. Usia kandungannya udah 4 minggu," sahut mami, yang dengan bahagia, mengumumkan kabar tersebut. "Iya. Kami mohon doa dari semuanya, supaya proses kehamilan dan persalinan istri saya nanti berjalan lancar, anak kami nanti juga tumbuh sehat," sahutku sambil merangkul Renatta dan dengan sayang, kucium keningnya. Tak lupa, sambil sedikit berlutut, kuciumi perut Renatta, sebagai tanda kasihku.

Saat acara gala dinner sekaligus pembubaran panitia dengan keluarga besar di sebuah restoran keesokan harinya, mau tak mau, berita tentang kehamilan Renatta sudah tersebar karena malam sebelumnya, lewat keluarga dekat, kami sudah mengumumkan kabar itu. "Nggak heran Don, kalau istrimu hamil duluan. Wong kalian pacarannya bebas banget. Keluar negeri berdua dan pasti seranjang. Gimana nggak jadi duluan. Makanya, untuk yang lain, jangan ditiru ya, perbuatan mereka. Makanya kemarin mau nikah cepet tuh," nyinyir Om Raffa. "Iya, Don. Padahal kamu kan dokter, harusnya bisa ngerem lah," sindir Kak Inne, kakak sepupu tertuaku dari pihak mendiang papi, yang juga anak sulung Om Raffa. Memang, keluarga mereka ini seolah tak suka akan keberhasilanku. "Maaf ya Om, juga kakak. Kami tidak seperti itu. Renatta hamil setelah kami menikah. Kebetulan, saat kami bulan madu, istriku tercinta ini sedang dalam masa subur. Usia kehamilan ditentukan lewat 2 hal, dari HPHT dan usia janin. Dari HPHT, usia kandungan istriku sudah 4 minggu, dan dari usia janin, janin kami berusia 2 minggu. Apa yang salah? Kalian yang emang nyinyir atau gimana sih? Masih kurang ya, kalian teror Renatta dulu, sebelum kami menikah. Asal semua tahu, saya hampir kehilangan Renatta karena ulah mereka yang menteror dan mengatakan hal yang nggak seharusnya diucapkan oleh keluarga baik-baik," sahutku emosi.

"Bang Raffa! Inne! Cukup kalian lakukan ini pada keluargaku, apalagi pada anak dan menantuku. Kalian malah sempat ya, menteror Renatta dan minta agar dia tinggalkan anakku Doni, dengan alasan nggak masuk akal. Kalian dengan tidak berperasaan sedikitpun, memaki calon menantuku. Beruntung, anakku dan Renatta bisa selesaikan masalah ini, hingga akhirnya mereka sekarang menikah dan akan memiliki anak. Aku memang baru ungkapkan sekarang ya, masalah ini. Aku masih simpan semua chat kalian yang kalian kirim ke Renatta. Jangan tanya aku tahu dari mana. Feeling seorang ibu itu, nggak akan salah. Oh iya. Satu hal lagi. Kalau sampai kudengar, kalian atau siapapun melakukan ini lagi kepada anakku, juga menantuku Renatta, aku nggak akan segan bertindak lebih. Bahkan, untuk Bang Raffa dan kamu, Inne, sekali lagi kalian fitnah menantuku Renatta, semua sahamku diperusahaan kalian, akan aku ambil. Sahamku ada 70 persen ya. Gitu juga dengan modalnya. Kalian bisnisnya juga dari modalku dan mendiang suamiku. Aku akan tarik semua itu kalau kalian macam-macam padaku, juga keluargaku lagi. Inget baik-baik perkataanku. Aku nggak akan main-main," balas mamiku. Mami tak bisa menahan emosinya lagi. "Mas. Udah. Nggak baik marah gitu, sayang. Keep calm, honey," timpal Renatta sembari memegang tanganku. Aku spontan mencium sayang istriku. "Mi. Udah. Saya nggak apa-apa, Mi. Mami sabar. Itu juga udah lewat, Mi. Udah, ya," ujar Renatta, berusaha menenangkan mamiku dengan cara memegang tangan mami. Spontan, kuraih tubuh Renatta dalam pelukanku. Aku peluk ia agar ia dan calon anak kami merasa terlindungi. Renatta pun balas memelukku. Disaat ini, kami merasa butuh untuk saling memeluk agar emosi kami lebih terjaga. Apalagi, Renatta sedang hamil dan kondisinya harus selalu terjaga.

"Bang. Cukup ya. Anakku dan menantuku nggak mungkin melakukan itu. Aku ibunya Doni dan aku tahu gimana anakku. Aku juga tahu, gimana karakter menantuku, Renatta, yang sekarang sedang hamil cucu pertamaku. Mereka kalau pacaran masih wajar. Liburan berdua ya wajar aja, kebetulan mereka ada pekerjaan berdua, atau saling menenami jika salah satu bekerja. Wajar. Itu saling mendukung namanya, Bang. Aku heran. Kenapa sih, selalu anakku dan menantuku yang kalian salahkan," ucap mami. "Mi. Udahlah. Saya disini nggak mau kalau gara-gara ini, kondisi Renatta dan calon anak kami malah drop. Kami kekamar dulu, karena Renatta mau istirahat. Kasihan dia, kecapean setelah acara kemarin," sahutku, yang langsung menggendong Renatta kekamar kami. "Iya, Nak. Kamu jaga baik-baik istri kamu, juga calon cucu mami. Masalah ini, mami yang urus," ucap mamiku.

Dikamar. Aku tahu, sejak tadi, istriku tercinta memang menahan emosi dan sedihnya atas tuduhan Om Raffa. Maka, kubiarkan ia menangis dalam pelukanku. "Mas. Kalau memang Om Raffa masih aja nyinyirin kita, dan masih nggak nerima aku, ya...aku harus ngapain Mas," curhat Renatta. Ia masih memelukku, dan aku balas memeluknya. "Nggak usah kamu pikirkan, sayang. Kamu tahu, kan, aku sangat sayang sama kamu. Aku nggak mau nikah kalau nggak sama kamu, Renatta ku. Apalagi, kamu sekarang tengah mengandung anak kita, buah cinta kita. Sayang, lihat aku. Kamu percaya kan, kalau aku ini sayang banget sama kamu. Kita hanya butuh bersabar, seperti yang kamu bilang selalu sama aku," sahutku. "Iya, Mas. Mungkin aku terlalu mellow aja tadi, dan aku kaget banget," timpal Renatta. Ia mulai bisa tersenyum. "Iya sayang. Ya udah. Besok pagi, kita kembali ke Jakarta. Gitu dirumah, kamu banyak istirahat dulu, kasian nih, junior kita," ucapku.

This I Promise YouWhere stories live. Discover now