🦋DEANITA-23

213 23 0
                                    

🦋

"Berhenti!" teriak Dea pada seorang laki-laki yang berdiri dengan jarak dua meter di depannya.

"Bisa lo jelasin?" tanya Dea.

Namun, Dean bungkam. Dia masih setia berdiri membelakangi Dea. Entah apa yang ada dipikirannya.

Dean berbalik. "Lo punya otak 'kan?" tanyanya dingin dan menusuk hati.

Koridor sekolah sudah sepi. Perlahan Dea berjalan mendekati Dean. Ia berusaha mengesampingkan rasa sakit hatinya.

"Apa lo gak bisa jawab?" tanya Dea balik bertanya.

"Gak! Gue bilang cari tahu sendiri, masih punya mulut 'kan buat tanya ke papa lo!"

"Gue gak tahu," balas Dea geram.

"Duduk!" perintah Dean.

Akhirnya Dea dan Dean duduk di kursi yang ada di depan kelas yang berhadapan langsung dengan lapangan basket.

Sebelumnya Dean menghela napas. Lalu melirik Dea sekilas. Ia labuhkan pandangannya ke arah lapangan basket yang kosong. "Gue benci cerita ini."

Dea mengernyit. "Maksudnya?"

"Jangan potong cerita gue."

Dea mengangguk pelan. Bibirnya langsung terkatup rapat.

"Papa lo dan papa gue sahabatan dari kecil. Dan gue benci dengan kebenaran bahwa papa lo pengkhianat. Dia sendiri yang ngehancurin perusahaan papa gue dengan kerjasama dengan musuh papa gue. Pada akhirnya gue jatuh miskin. Tapi, papa gue berusaha merintis kembali usahanya tanpa bantuan papa lo yang sukses sendirian."

Napas Dean sedikit tersenggal. "Bahkan, gue sempet benci dengan tindakan papa. Dengan gampangnya dia nyuruh gue buat bantuin keluarga lo yang jatuh miskin. Lo tahu gimana sakitnya gue sebagai seorang anak."

"Tapi—"

"Gue bilang jangan potong cerita gue!" tegas Dean.

"Maaf."

"Faktanya, papa gue terlalu baik. Meski gue muak lihat lo. Tapi, gue berusaha menuruti permintaan papa. Demi buat papa percaya lagi sama gue."

"Apa dulunya lo  ada masalah di sekolah lo yang dulu?"

"Ada."

"Gue gak sepenuhnya percaya dengan cerita lo. Gue akan cari tahu sendiri!" ucap Dea.

Dean berdiri. Lalu pergi meninggalkan Dea yang masih terdiam mencerna cerita pahit yang Dean ceritakan. Haruskah ia percaya? Atau tidak?


🦋

Semenjak penjelasan Dean satu minggu yang lalu. Dea sering melihat Dean yang keluar masuk ruang guru. Entah urusan apa yang pasti laki-laki itu sering dipanggil Bu Rahma. Dea sempat mengira Dean bermasalah. Tapi, sejauh yang Dea lihat tak pernah sekalipun Dean melakukan pelanggaran-pelanggaran di sekolah.

Senin ini, kelas Dea kebagian untuk jadi petugas upacara. Dea menjadi pemimpin barisan kelas XI. Dan yang menjadi pemimpin upacaranya adalah Dean.

Sampai selesainya upacara tak sedikit pun Dean berbicara. Minimal mengenai cerita itu. Dea sendiri tak paham, apa maksud tindakan Dean ini? Membuat Dea merenungkannya kah?

"Ikut gue, lo dipanggil Bu Rahma." Langkah Dea dan Indah terhenti, sebab ucapan Dean yang tiba-tiba.

"Gue?" tunjuk Dea pada dirinya sendiri.

Dean mengangguk.

Mau tak mau Dea mengikuti langkah kaki Dean. Pikirannya sempat berprasangka, kira-kira kesalahan apa yang ia perbuat hingga harus dipanggil wali kelas.

"Stop!"

Dean berbalik, lalu menaikan sebelah alisnya.

"Kok ke taman belakang? Gue dihukum? Tapi salah gue apa?"

"Lo gak dipanggil sama Bu Rahma, gue cuma mau ngomong sama lo."

"Ngomong? Ya tinggal ngomong aja. Ngapain ke taman belakang," sewot Dea agak ngegas. Ekspresinya kelas menunjukkan ketidaksukaan.

"Lo paham gak arti balas budi?" Dean menatap manik mata Dea serius.

"Ya tahulah!"

Keduanya melanjutkan perbincangan di taman belakang. Dea duduk di kursi taman, sedangkan Dean berdiri di sampingnya. "Ngomong apa?" tanya Dea.

"Lo paham gak arti balas budi?" Dean mengulang kembali pertanyaan yang dilontarkannya tadi.

"Paham."

"Terus?"

Dea menegakkan badannya. Lalu menatap Dean. "Oh, jadi maksud lo gue harus balas budi karena kebaikan papa lo? Gitu?"

Dean mendengus. "Menurut lo?"

"Gue kira lo tulus ngebantu, ternyata gak! Lo butuh duit berapa?" Ada sirat kecewa di mata Dea.

Dean melempar sebuah amplop putih ke dahi Dea, membuat Dea meringis kesakitan. "Heh! Lo kalau marah jangan gini dong! Sakit tahu."

Dea mengambil amplop putih yang jatuh di pangkuannya. "Ini apaan? Kok keras? Lo masukin apa sih ke dalam amplopnya? Pantesan aja sakit."

Tak ada jawaban dari mulut Dean. Ia hanya memandang datar Dea yang masih sibuk mengoceh dan mendumal.

"Gue balik!"

"Woy! lo belum jawab pertanyaan gue!" teriak Dea.

"Dahi gue sakit tanggung jawab lo."

"Derita lo."

Meski kesal Dea diam-diam mengulum senyum. Entahlah, yang pasti Dea merasa Dean menyampaikan sesuatu padanya. Hanya ada satu tulisan di ujung kanan amplop bagian bawah.

Ket : Baca dengan baik

🦋

DEANITA [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora