32. Identitas

1K 135 8
                                    

Sarah semakin khawatir. Kakinya mulai berubah. Ini dikarenakan dirinya belum menyerahkan tumbal lagi untuk menyempurnakan tubuhnya yang mulai berkurang kecantikannya. "Aduuh ... perih." Kulit punggung kakinya mengelupas. Kering, bak sisik ular. Darah merembes sedikit.

Sarah semakin khawatir, karena target tumbal selanjutnya adalah adiknya dan Rani, jika ia ingin kecantikannya kekal. Rasa benci bisa menimbulkan kekekalan. Namun, ia tidak tega. Mana mungkin ia akan membunuh adiknya dengan tangannya sendiri. Sungguh egois, jika ia berani melakukannya. Ya. Tumbal diserahkan dengan tangan sendiri, yaitu membunuhnya secara mandiri.

***

"Hei, WhatsApp?" sapa Edo dengan kata-katanya yang belepotan itu. Ia mengucapkan What's up menjadi WhatsApp.

"BBM, kali." Ersa terbahak. "What's up, Bro!"

"Halah, mbuh wis." Edo mengibaskan tangannya, lalu duduk di sebelah Ersa yang kini sibuk bermain permainan cacing itu. Ekspresinya meledek. "Nggak punya kuota, ya?" Tanpa menjawab, diusapnya wajah Edo dengan telapak tangan Ersa yang lebar itu, dengan maksud menyuruhnya diam.

Sedang Rani, masih sibuk bercerita tentang pengalaman semalam kepada Sinta. Ia menceritakan semuanya, termasuk Ersa yang tiba-tiba menyusulnya. Ia sangat bahagia waktu itu, walaupun harus berpura-pura marah, agar Ersa mengerti perasaannya. Sinta pendengar yang baik. Ia sangat antusias mendengarkan segala ocehan teman-temannya. Lumayan, cerita non-berbayar, pikirnya.

Sedang di pojok sana, ada yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka semua. "Bentar lagi kamu ilang. Lenyap, terbang seperti abu," gumamnya.

Kali ini ia berani, tidak seperti semalam, di mana sang kakek menyerahkan beberapa keris keramat kepadanya. Ia diberi kepercayaan untuk merawat keris-keris itu. Diberitahukannya jati dirinya sekalian.

"Nduk, kamu ini pewaris Mbah. Kamu punya kedudukan tinggi. Kamu cantik, Nduk," ucap Kardibyo Wangsana.

"Kedudukan tinggi gimana, Mbah?" tanyanya polos.

"Coba hadap ke cermin," perintah Kardibyo sembari menunjuk ke arah cermin besar di belakang cucunya, "pejamkan mripatmu."

Setelah dirasa cukup, Kardibyo memerintahkan cucunya untuk membuka mata. Tampak kaget di mata Diah. Ia berubah menjadi sosok ratu dengan mahkota tinggi nan berat di kepalanya. Asli emas. "Apa, ini, Mbah?"

"Kamu pewaris Keluarga Wangsana. Jangan kaget, jika nanti ada yang datang dan memberi salam hormat padamu." Kardibyo tidak mengatakan bahwa yang akan memberi salam adalah golongan makhluk halus yang sesat dan menyesatkan. Keluarga Wangsana tidaklah berbeda jauh dengan Sarah. Hanya saja, mereka melakukan pesugihan untuk harta yang kekal. Mereka tidak memberikan tumbal, hanya saja anak cucunya tidak akan hidup tenang. Perjanjian itu sulit dicabut. Sekali terikat, maka sulit untuk diarahkan bertaubat.

Horror Vlogger (Completed)Where stories live. Discover now